— 230 —
berkereskan dan Tan Lim toendoekin kapalannja meliat, ka bawah, ternjata itoe permadani jang digelar di atas djoebin telah berlobang di sapoeloeh tempat. Lantaran apa ia djadi taoé bahoewa ini orang poenja tenaga sasoenggoenja tida ketjil.
„Hei, masatah kaoé sama-sekali tida mempoenjai kapandean satoe apa?” mendesak lagi Tan Lim.
„Ah, ah siapa bilang akoé sama-sekali tida mempoenjai ilmoe kapandean satoe apa,” kata Han Thian Kim dengan djinkel. „Na, na, tjooba kaoé lihat marina itoe boekannja ada mempoenjai ilmoe kapandean? Tapi akoé bisa tjekel ikoarang satoe per satoe dan teroes dilemparkan ka atas genteng roemah.”
„Ach, mana boleh oendjoek kapandean dengan tjara begitoe!” menjentik itoe kapala orang kebiri dengan pengrahsaan djinkel.
„Habis bagimana baeknja?” kata Han Thian Kim dengan bingoeng. „Itoeroe semoetja akoe mendjabat pangkat, itoe dari akoe sadja jang tida kabagian.”
Bitjara sampe di sini ia lihat itoe lankan jang terbikin dari batoe poetih, dan menambahnja lagi: „Akoe bisa bikin antjoer itoe lankan batoe.”
„Ai, itoelah tida boleh, anak gilo,” kata Tan Lim. „Meroeskin barang dalam tempat terlarang, apa kaoé taoé bakal mendapat hoekoeman apa?”
Djoestroe pada waktoe ito orang bitjara dengan belon mendapet kaberesan, sabeliknja baginda keizer jang telah djalankan satoe pikiran. Baginda poenja perhatian sadja soesoe sama oeroesannja Han Thian Kim, dengan tiba-tiba baginda berdjongkok dan mendjadikan melihat ka sabelah kiri dan kanannja itoe pasaban. Ini Liong-tjo-kok terletak di sabelah Barat dan menghadap ka Timor, sedang itoe roewangan jang didjalani oleh baginda keizer di itoe waktoe lebarnja ada lima pendjang dan pandjangnja dilaloekan poetak. Di sabelah sana Oetarannja itoe pasaban ada doewa bangkoe batoe, di atas mana ada ditaro doewa „Teng” (samatem koewali jang menak tiga kaki) besi.