Apa gunanja siput lagi,
siput’lah berangkai-rangkai.
Apa gunanja hidup lagi,
hidup ’kan betjermin bangkai;
biarlah hamba amuk badan hamba — supaja senang hati ibu.”
Mendengar kata demikian rusuh hati ibu si Umbut — sesak rasa kira-kiranja — bagai memakan simalakama akan pergi takut ’kan mati — tidak pergi anak mengamuk; itulah sukarnja akan ditjari — itu rupanja kehendak anak. Dipatut-patut dengan ’akal — dipikir-pikir dimenungkan — oleh ibu si Umbut Muda lalu berkata sama seorang: „Dari pada anakku mati — biarlah hamba mati djua.” Karena iba akan anak — tidak lagi pikirkan — tidak lagi dimenungkannja — berdjalan ia sekali. Dibawa kemenjan putih — menangis berundung-undung — kainlah gendjong gerongan[1] — napasnja sudah gedang ketjil. Berpantun ibu si Umbut:
„Kepekan sekali ini,
tak mungkin membeli lagi.
Berdjalan sekali ini,
tak ’kan kembali lagi.
Tinggi melandjutlah ’kau betung,
tak ’kan kudulang-dulang lagi.
Tinggal terdjengunglah ’kau kampung,
tak ’kan kuulang-ulangi lagi.”
- ↑ Tidak teratur lagi
39