belah katjang — berkain upih 'kan djatuh — sudut menikam empu kaki. Berkata si Umbut Muda: „O ibu, udjarku ibu! pandang benarlah oleh ibu — tampani benar oleh bunda — bagaimanakah rupa tampannja?”
Mendjawab ibu si Umbut: „Djika itu nan engkau tanjakan — tidak bertjela bertjatjat lagi — sudah kena rupa — tampannja; bujung berdjalanlah kini — kendarai kuda nan belang — kenakan alat pelananja!”
Kononlah kuda nan belang — bulu sebagai 'aina'lbanat — bulu tengkuk awan tergantung — ekornja serasah terdjun — kaki nan radjah[1] keempatnja: pelana emas bertempa — kekangnja perak berhela — sanggurnja dari suasa. Berdjalan si Umbut Muda — dinaiki kuda jang belang — berdjalan mendontjang-dontjang[2] — sudah ditjentjang guratihkan — telah mendua-dua lunak — genta besar imbau-mengimbau — genta ketjil panggil-memanggil — pada lalu surut nan lebih terpidjak semut tidak mati — batang terlanda berbudjuran — alu tersandung patah tiga.
Dekat hampir akan tiba — tiba ia tengah halaman; merentak kuda si Umbut — merentak meringkik pandjang. Terkedjut guru si Umbut — tertjengang orang nan banjak — tegak berdiri semuanja — menindjau kepintu gedang — tampaklah si Umbut datang. Berkata guru si Umbut: „O bujung si Urabut Muda!
Tjempedak tengah halaman,
didjolok dengan empu kaki.
Djangan jama tegak dihalaman,
itu tjibuk,[3] basuhlah kaki.”
13