dan anak-anaknya di desa Cicangtu, Wanaraja. Hatinya yang luka akibat pengasingan itu terobat sedikit. Alam daerah itu hampir sama dengan alam daerah kelahirannya. Penduduk Garut ramah tamah. Lagipula di situ banyak pengikut Sarekat Islam.
Ia menyesuaikan cara hidupnya dengan cara hidup orang desa. Ia bertani. Dengan tidak canggung-canggung, ia menggarap tanah yang diberikan kepadanya. Ia sudah mempelajari cara-cara bertani secara modern. Cara itu dipraktekkannya di desa Cicangtu.
Penduduk Cicangtu diajarnya pula mengerjakan tanah secara modem, agar hasilnya banyak. Dipeliharanya ayam dan sapi. Politikus itu telah mengganti pidato-pidato politik dengan percakapan dengan penduduk desa tentang masalah pertanian. Sebagai jurnalis, ia telah mengganti penanya dengan cangkul. Tetapi ia tetap merasa bahagia, walaupun penghasilan yang diterimanya tidak cukup untuk membiayai keluarganya.
Kegiatan politik jelas tidak dapat lagi dilakukannya. Dengan hati yang sungguh-sungguh, ia berusaha hidup sebagai orang desa, sebagai petani. Tetapi polisi rahasia Belanda selalu memata-matainya. Gerak-geriknya tetap diawasi. Belanda takut kalau-kalau Abdul Moeis lari dari Garut. Perlakukan itu menimbulkan rasa marahnya.
Pada suatu hari ia datang menemui Kepala Polisi Garut. Dengan marah ia berkata kepada Kepala Polisi itu, ”janganlah anda membangunkan anjing
42