Halaman:Seni Patung Batak dan Nias.pdf/27

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Patung-patung yang terdapat pada saat sekarang, yang terdapat di daerah Batak pada umumnya, hanya dipakai sebagai peringatan, bukan lagi sebagai pemujaan seperti lazimnya dalam kepercayaan nenek moyang pada zaman dahulu.

Patung-patung peninggalan pada zaman pra-sejarah yang menggambarkan tentang nenek moyang sesuai dengan kepercayaan animisme, tidak banyak lagi kita jumpai. Seandainyapun ada patung-patung itu hanya duplikat dari patung-patung yang lama, atau patung-patung yang lama, atau patung-patung dari bahan yang tahan lama seperti patung-patung peninggalan dari jejak kultur Megalitik yang sampai sekarang masih banyak bertebaran di daerah Batak khususnya di pulau Samosir, yakni disekitar desa Limbong di kaki gunung Pusuk Bukit, Tomok dan Ambarite.

2. Kesinian megalit

Kesenian Megalitik yang terdapat di daerah Batak merupakan kesenian yang terpenting dalam kebudayaan sebelum sejarah.

Peninggalan-peninggalan kesenian Megalitik yang terbuat dari batu mempunyai hubungan dengan kepercayaan di samping penghormatan bagi orang-orang yang sudah mati. Sebagian peninggalan masih utuh dan terpelihara baik. Namun banyak yang sudah rusak atau punah ditelan oleh zaman. Kedatangan kebudayaan Megalitik ke Indonesia kemungkinan dibagi atas dua gelombang, yang pertama terjadi pada zaman Neolithicum, dan menyebar hampir di seluruh pelosok tanah air, seperti di Batak, Nias, Pasemah, Toraja, Sulawesi Tengah dan Bali.

Di daerah Batak di sekitar pinggiran pantai Danau Toba dan Nias peninggalan-peninggalan kebudayaan Megalitik sampai saat ini masih banyak kita jumpai misalnya hatu berdiri (menhir) dan batu-batu yang disusun berupa meja (dolmen) dan kursi yang dipakai sebagai tempat pertemuan.

Kursi batu menurut kepercayaan masyarakat waktu itu adalah tempat dewa-dewa, dan juga dipakai sebagai tempat penghormatan kepada arwah-arwah leluhur mereka. Sebab penghormatan kepada leluhur dianggap sangat penting. Tempat ini tidak boleh diduduki orang, terkecuali oleh raja-raja adat sebab raja adat dianggap sebagai wakil dari leluhur. Oleh karenanya mereka diperkenangkan duduk diatas kursi batu itu.

18