Setelah perang usai, dimana Raja Ujung Barita Sidabutar menang, panglima perang Aceh itu kembali ke kerajaannya dengan selamat. Untuk mengenang jasa panglima Aceh itu, maka dibuatlah patungnya di pulau Samosir.
Walaupun Raja Ujung Barita Sidabutar senantiasa menang dalam setiap peperangan, namun raja tetap belum merasa puas. Untuk itu sebelum mangkat, beliau berpesan kepada keluarganya agar wajahnya yang dipahat di atas peti batu dilumuri dengan darah lawan yang kalah di medan pertempuran.
Pesan raja dilaksanakan dengan patuh, dimana setiap lawan yang kalah, ditangkap hidup-hidup dan disembelih, darahnya diambil kemudian dicampur dengan cat pulo batu (merupakan sejenis batu yang telah ditumbuk menjadi pepung) untuk kemudian dilumurkan ke wajah patung raja.
Hingga kini wajah patung masih berwarna kemerah-merahan walaupun telah beratusratus tahun umurnya.
Selain dari pada darah lawan, juga dagingnya diambil dicincang-cincang, kemudian dicampur dengan daging kerbau atau babi untuk dimakan bersama-sama dengan prajurit-prajurit yang berperang agar menjadi garang dan lebih berani di medan pertempuran. Mungkin dari sinilah timbulnya istilah "Batak makan orang".
Saat raja meninggal dibuat upacara adat kematian dengan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam diiringi gondang Batak dengan hidangan berpuluh-puluh ekor kerbau dan babi sebagai tanda pesta keagungan.
Pengganti raja berikutnya adalah Ompu Solompon Sidabutar yang telah menganut agama Kristen; sehingga makamnya tidak lagi ditempatkan di dalam batu yang berlubang, melainkan dikubur di dalam tanah.
Bila kita memperhatikan berbagai ukuran kuburan, akan terlihat kuburan batu kecil dalam bentuk sebangun. Banyak orang menyangka bahwa kuburan ini merupakan kuburan anak raja. Padahal sebenarnya adalah makam orang dewasa dari golongan pejabat, hulubalang raja, anak boru, dan ada pula diantaranya bermarga Silalahi Harianja.
16