Halaman:Sarinah.pdf/7

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

kenal betul-betul, kedua-duanya saya anggap seperti adik saya sendiri. Sang suami di alam Bengkulu termasuk golongan "modern", tetapi isterinya kadang-kadang mengeluh kepada saya, bahwa ia merasa dirinya terlalu terkurung.

Di luar pengetahuan isterinya, saya anjurkan kepada kawan saya itu, supaya ia memberi kemerdekaan sedikit kepada isterinya. Ia menjawab: Ia tak mengizinkan isterinya ke luar rumah, justru oleh karena ia amat cinta dan menjunjung tinggi kepadanya. Ia tak mengizinkan isterinya ke luar rumah, untuk menjaga jangan sampai isterinya itu dihina orang. "Percayalah Bung, saya tidak ada maksud mengurangi kebahagiaannya; saya hargakan dia sebagai sebutir mutiara".

. . . "sebagai sebutir mutiara". . .

Ah, tidakkah banyak suami-suami yang menghargakan isterinya sebagai mutiara, – tetapi sebenarnya merusak atau sedikitnya mengurangi kebahagiaan isterinya itu?

Mereka memuliakan isteri mereka, mereka cintainya sebagai barang yang berharga, mereka pundi-pundikannya "sebagai mutiara", – tetapi justru sebagaimana orang menyimpan mutiara di dalam kotak, demikian pulalah mereka menyimpan isterinya itu di dalam kurungan atau pingitan. Bukan untuk memperbudaknya, bukan untuk menghinanya, bukan untuk merendahkannya, katanya, melainkan justru untuk menjaganya, untuk menghormatinya, untuk memuliakannya.

Perempuan mereka hargai sebagai Dewi, perempuan mereka pundi-pundikan sebagai Dewi, tetapi mereka jaga dan awas-awaskan dan "selalu tolong" juga sebagai satu makhluk yang sampai mati tidak akan menjadi akil-balig. Kalau saya memikirkan hal yang demikian ini, maka teringatlah saya kepada perkataan Professor Havelock Ellis yang berkata, bahwa kebanyakan orang laki-laki memandang perempuan sebagai "suatu blasteran antara seorang Dewi dan seorang tolol". Dipundi-pundikan sebagai seorang Dewi, dianggap tidak penuh sebagai seorang tolol!

Tidakkah masih banyak laki-laki yang men-dewi-tolol-kan isterinya itu? Malahan, tidakkah pada hakekatnya seluruh peradaban borjuis di negeri-negeri yang telah "sopan" pada

7