Halaman:Sarinah.pdf/6

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

bergerak sedikit, dan saya melihat mata orang mengintai. Mata orang perempuan! Saya melihat dengan nyata: kaki dan ujung sarung yang kelihatan dari bawah tabir itu, adalah kaki dan ujung sarung perempuan!

Dengan segera saya palingkan muka saya, berbicara dengan tuan rumah dengan memandang muka dia saja. Tetapi pikiran saya tidak tetap lagi. Satu soal telah berputar di kepala saya. Bukankah perempuan yang mengintai tadi itu isterinya tuan rumah? Mana bisa, tuan rumah toh mengatakan, bahwa isterinya sedang merawat orang sakit? Tetapi ... mengapa ia tadi kelihatan malu-malu, telinganya kemerah-merahan, tatkala ditanya di mana isterinya?

Saya ada dugaan keras, bahwa tuan rumah itu tidak berterus-terang. Rupa-rupanya, isterinya ada di rumah. Tetapi ia tak mau memanggilnya keluar, supaya duduk di toko bersama-sama kami. Sebaliknya ia tidak mau mempersilakan isteri kawan saya supaya masuk ke dalam, ke bagian belakang, tempat kediamannya sehari-hari. Barangkali memang tidak ada tempat penerimaan tamu yang layak, di tempat kediaman itu. Ia nyata malu ...

Sesudah bercakap-cakap seperlunya, kami bertiga permisi pulang.

Kami mengambil jalan melalui kedai-kedai, dan pasar pula.

Tapi pikiran saya terus melayang. Melayang memikirkan satu soal, – soal wanita.

Kemerdekaan! Bilakah semua Sarinah-Sarinah mendapat kemerdekaan?

Tetapi, ya – kemerdekaan yang bagaimana?

Kemerdekaan seperti yang dikehendaki oleh pergerakan feminismekah, yang hendak menyamaratakan perempuan dalam segala hal dengan laki-laki?

Kemerdekaan ala Kartini? Kemerdekaan ala Chalidah Hanum? Kemerdekaan ala Kollontay?

Seorang kawan saya, – guru sekolah di Bengkulu – , mempunyai seorang isteri yang ia cintai benar. Kedua laki-isteri ini saya

6