Lompat ke isi

Halaman:Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah NTB (1986).pdf/62

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

dasarnya dapat diwariskan secara turun termurun. Tanah tidak dapat dimiliki karena pemakai hanya menggunakan tanah milik raja. Kewajiban rakyat sebagai pemakai tanah ialah membayar pajak kepada raja.

Makin ke Timur, kekuasaan Raja Karang Asem tidak begitu besar pengaruhnya. Raja Karang Asem berkuasa secara tidak langsung, yaitu melalui kaum bangsawan sasak.

Dengan demikian, peranan raja tidak begitu penting. Dalam hal yang berhubungan dengan tanah, berlaku sistem sebagaimana pada daerah yang dikuasai secara langsung oleh Kerajaan Karang Asem, yaitu dimiliki oleh kaum bangsawan sasak.

Konsep pemilikan di sini tidak seketat di daerah yang dikuasai secara langsung.

Kaum bangsawan sasak pada masa sebelumnya merupakan kelompok yang berkuasa di mana penguasa pada saat itu berkedudukan sebagai kepala adat yang memiliki kekuasaan terhadap wilayah dan tanah pauman. Rupanya masih bertahah pada masa kekuasaan Raja Karang Asem. Konsep pemilikan merupakan warisan konsep penguasaan yang berlaku sebelumnya.

Hak-hak rakyat terhadap tanah yang mereka gunakan selama ini tetap menjadi hak milik. Tanah pengayah atau nyakap hanya diberikan hak pakai atau bagi hasil dari rakyat. Tanah ini milik para bangsawan yang berkuasa. Rakyat sebagai penggarap mempunyai kewajiban-kewajiban tertentu kepada pemilik tanah.

Setelah Belanda berkuasa, konsep pemilikan menjadi lebih tegas. Hubungan turun temurun terhadap pemilikan tanah menurut adat diakui sebagai hak milik yang dilindungi dan diakui sepanjang dapat dibuktikan sebagai hak milik. Tanah pauman yang selama ini menjadi milik raja pada masa pemerintahan Raja Karang Asem diakui sebagai tanah adat di mana rakyat sebagai anggota persekutuan dilindungi hak-hak dan kewajibannya.

Sejak periode ini berlaku, pranata baru yang mengatur sistim pemilikan tanah perorangan diatur dengan jalan diadakan pengukuran (kelasiran) untuk menentukan hak milik yang lebih pasti dan jelas. Meskipun hasil pengukuran tersebut dimaksudkan untuk penetapan pajak, namun masyarakat yang meneirma bukti pembayaran pajak dalam bentuk pipil dijadikan bukti milik yang sah terhadap tanah yang dikuasainya.

Sistem di atas tetap berlangsung, baik pada masa kekuasaan Je-

51