BAB V
POLA PEMILIKAN TANAH
Istilah pemilikan menunjukkan adanya hubungan antara perorangan, atau badan hukum dengan tanah atau suatu benda tertentu. Intensitas hubungan menentukan batas-batas hak dan kewajiban antara individu dengan tanah. Dalam khasanah hukum adat, istilah hak milik jarang dijumpai, hanya ada sebutan "sawah saya, sawahnya, ladangnya, kepunyaan saya atau kepunyaannya". (Ter Haar BZN, 1981 : 90).
Undang Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960 menyebutkan bahwa hak milik adalah hak turun menurut, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah. Hak milik dapat beralih dan dapat dialihkan kepada orang lain.
Adapun pola pemilikan tanah dipengaruhi oleh norma-norma yang melembaga dalam masyarakat yang berbentuk pranata-pranata sosial.
1. PRANATA-PRANATA SOSIAL YANG BERLAKU DALAM PEMILIKAN TANAH.
1.1. Pranata Politik
Sebagaimana halnya pada pola penguasaan tanah, pemilikan tanah pun diwarnai oleh pola dan sistem masyarakat yang ada pada masa lampau.
Sejarah suku sasak dalam perkembangannya mengalami pasang surut. Pada tahun 1740, kekuasaan raja-raja sasak di bumi Lombok berakhir dan memasuki era baru dalam percaturan politik. Sejak itu bumi Lombok dikuasai oleh orang asing. Kedatangan orang-orang Bali ke Lombok tidak hanya berimplikasi politik, dalam arti memegang pemerintahan, tetapi juga membawa pengaruh pada aspek kehidupan yang lain. Peraturan kerajaan Karang Asem menyebutkan bahwa semua tanah yang berada dalam wilayah kekuasaan kerajaan merupakan drue dalam atau milik raja. Kebijaksanaan ini merupakan konsekuensi penguasa politik di seluruh wilayah kerajaan.
(bandingkan dengan Koesno, 1975 : 133).
Rakyat hanya diberikan hak pakai atas tanah yang ada dan tidak dapat dijadikan hak milik. Hak menggunakan tanah atau hak pakai pada
50