Lompat ke isi

Halaman:Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah NTB (1986).pdf/45

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

bok berada di bawah kekuasaan Belanda. Pada periode ini, kebijaksanaan pertanahan berdasarkan politik dualisme. Hak-hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan tanah yang didasarkan adat dihidupkan kembali. Sebagai akibat politik kekuasaaan Raja Karang Asem penguasaan tanah secara individu melalui hak milik diakui dan dilindungi. Dengan kata lain tanah-tanah yang mempunyai status sebagai hak-hak asli adat, seperti tanah-tanah pauman, tanah milik, tanah pecatu, dan lain-lain diakui dan tunduk pada hukum adat.

Agrariche Wet 1870 yang dimuat dalam S. 1870 nomor 55 yang dalam aturan pelaksanaannya yaitu dalam bentuk pernyataan domainvel claring dari negara yang didasarkan pada pasal 1, Agrariche Besluid (S, 1870-118). Adapun pernyataan domain negara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 1 Agrariche Besluid tersebut sebagai berikut : "Semua atau miliknya adalah tanah domain atau milik negara."

Kebijaksanaan Domain Velclaring ini diperlukan pula di Lombok setelah Belanda menguasainya pada tahun 1894.

Pernyataan domain negara atas tanah pada waktu itu adalah berfungsi sebagai landasan untuk dapat memberikan/menggunakan tanah sesuai dengan hak-hak barat seperti eigendom, erfact, opstal dan lain-lain. Dengan demikian dapat terbuka kesempatan yang luas bagi modal asing untuk berusaha dalam perkebunan besar. Rupanya hal ini di Lombok tidak begitu penting karena usaha-usaha dalam bidang perkebunan besar tidak seperti yang ada di Pulau Jawa dan Sumatra.

Hanya saja terdapat penegasan tentang eigendom sesuai dengan yang dimaksud dalam agrarische eigendom.

Kebijaksanaan pertanahan yang terpenting adalah adanya upaya dari pemerintah kolonial untuk mengadakan pengukuran secara massal. Tujuan kebijaksanaan ini adalah sebagai dasar penarikan pajak bagi pemilik atau mereka yang menggunakan tanah. Kebijaksanaan ini oleh masyarakat setempat disebut masa kelasiran. Selama pemerintahan kolonial Belanda sudah dua kali diadakan pengukuran (kelasiran) massal terhadap tanah-tanah yang ada. Kelasiran pertama tahun 1929 dan kelasiran kedua dilakukan tahun 1939. Setelah tanah-tanah milik diukur dan dibayar pajaknya, pemerintah Belanda memberikan tanha bukti pembayaran pajak yang disebut pipil. Pajak ini lah yang dipegang oleh masyarakat sebagai satu-satu-

34