Lompat ke isi

Halaman:Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah NTB (1986).pdf/43

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

BAB IV

POLA PENGUASAAN TANAH

Pengertian penguasaan tanah dalam bagian ini meliputi hubungan antar individu (perorangan), badan hukum ataupun masyarakat sebagai suatu kolektivitas atau mesyarakat hukum dengan tanah yang mengakibatkan hak-hak dan kewajiban terhadap tanah. Hubungan tersebut diwarnai oleh nilai-nilai atau norma-norma yang sudah melembaga dalam masyarakat (pranata-pranata sosial). Bentuk penguasaan tanah dapat berlangsung secara terus menerus dan dapat pula bersifat sementara. Kejelasan masalah tersebut akan dibahas dalam bagian berikut.

1. PRANATA-PRANATA SOSIAL YANG BERLAKU DALAM MASYARAKAT

1.1. Pranata Politik

Pola penguasaan tanah secara tradisional diwarnai oleh pola dan sistem masyarakat yang ada dan berkembang pada masa lampau. Sistim masyarakat pada masa lampau diwarnai oleh empat periode kekuasaan politik. Keempat periode tersebut telah memberikan corak terhadap perkembangan kebudayaan, khususnya yang berhubungan dengan tanah.

Periode pertama adalah masa berkuasanya raja-raja sasak. Raja yang berdaulat di wilayah kekuasaannya sekaligus menguasai seluruh tanah yang berada dalam wilayahnya.

Wilayah kerajaan terdiri dari beberapa desa. Antara satu desa dengan desa yang lain mempunyai batas-batas yang jelas.

Meskipun desa-desa tersebut merupakan bagian wilayah kerajaan, namun desa adalah bentuk persekutuan territorial di mana warganya memiliki hak dan kewajiban. Harta kekayaan desa yang paling vital adalah tanah. Oleh karena itu seluruh tanah yang menjadi bagian wilayah territorial desa yang belum jelas hak-haknya secara individu, menjadi tanah pesekutuan, dalam hal ini adalah tanah pauman. Setiap anggota persekutuan mempunyai hak dan kewajiban terhadap tanah persekutuan. Jika anggota persekutuan ingin menggunakan haknya atau tanah persekutuan, seperti membuka tanah baru, maka yang bersangkutan harus mendapat izin dari yang berwenang, dalam hal ini Kepala Desa atau Raja pada tingkat yang lebih

32