Lompat ke isi

Halaman:Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah NTB (1986).pdf/109

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat ditarik dari hasil penelitian ini sebagai berikut :

  1. Pola penguasaan, pemilikan dan penggunaan tanah yang berlaku dewasa ini merupakan cermin dari pola yang berlaku pada masa lampau.
  2. Ada empat periode kekuasaan yang telah turut memberikan warna terhadap pola penguasaan, pemilikan, dan penggunaan tanah. Periode kekuasaan itu, yaitu periode kekuasaan raja-raja sasak, periode kekuasaan raja Karang Asem, periode kekuasaan kolonial Belanda dan Jepang, serta periode kemerdekaan.
  3. Di tiap desa persekutuan mempunyai pemimpin, di tingkat desa adalah Kepala Desa dan di tingkat yang lebih tinggi adalah Raja. Raja dan kepala Desa bertindak selaku pimpinan adat/kepala adat.
  4. Pada awalnya tanah yang ada merupakan tanah pauman di mana desa-desa merupakan kesatuan territorial yang berkembang sebagai suatu bentuk persekutuan. Tiap anggota persekutuan memiliki hak-hak dan kewajiban yang tegas dalam hubungannya dengan tanah yang berada dalam wilayah pauman. Tanah pauman tersebut terdiri dari pauman desa, masjid, dan kuburan.
  5. Perkembangan pemilikan tanah berawal dari pembukaan dan penggunaan tanah-tanah pauman oleh anggota persekutuan. Jika intensitas hubungan antara tanah pauman yang baru dibuka dengan orang yang membuka tanah terus menerus, maka status tanah tersebut akan meningkat menjadi tanah milik. Sebaliknya, jika tanah tersebut diterlantarkan, maka tanah tersebut akan kembali statusnya menjadi tanah pauman.
  6. Pada masa lampau yang berkuasa adalah raja. Dengan demikian, tanah yang berada di wilayah kekuasaannya dikuasai oleh raja. Begitu pula pada masa pemerintaha Raja Bali (Karang Asem), penguasaan tanah di wilayah kerajaan lebih diperketat. Seluruh tanah yang berada dalam wilayah kerajaan menjadi milik Raja.
  7. Pada masa pemerintahan Kolonial Belanda, kebijaksanaan terhadap pertanahan bersifat dualistis. Di satu pihak tanah-tanah yang mempunyai status sebagai hak-hak asli adat, seperti tanah pauman, tanah milik tanah pecatu, dan lain-lain diakui dan tunduk pada hukum adat. Di pihak lain terdapat tanah-tanah yang timbul akibat politik penjajahan terhadap kebijaksanaan pertanahan di Indonesia, yaitu tanah eigendom, tanah erfach, tanah opstal, dan lain-lain. Yang menyangkut tanah tersebut diatur dan tunduk pada hukum Agraria Barat.

}}

98