nyataan menjadi penggarap. Kepala Desa Surabaya pada waktu itu menganjurkan kepada rakyatnya agar tidak mau menandatangani surat tersebut dan semua menuntut agar Pemerintah Daerah tetap memegang perjanjian semula dengan para penggarap. Akhirnya, Pemerintah Daerah mengalah dan mengembalikan masalah tersebut sesuai dengan perjanjian. Ternyata setelah masalah dengan Pemerintah Daerah selesai, masih ada fihak lain yang menghendaki tanah tersebut. Pada tahun 1982, AURI menuntut karena seluruh tanah tersebut menjadi bagian daerah kerjanya yang tidak terpisahkan dengan lapangan terbang Rembiga yang ada sekarang. Oleh karena pihak Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) merasa daerah tersebut adalah wilayahnya, maka anggota AURI yang ada kadang-kadang mengambil buah kelapa dengan tidak terlebih dahulu meminta ijin kepada pemiliknya. Peristiwa ini adalah sebagai awal dari ketegangan antara masyarakat setempat dengan pihak AURI. Sampai saat ini, masalah siapa yang berhak atas tanah tersbeut belum dapat terselesaikan.
Kasus di atas menunjukkan bahwa ternyata masalah tanah tidaklah sederhana. Kasus tanah Rembang adalah contoh pertentangan antara tradisi yang sudah melekat dalam masyarakat dengan pola baru yang lebih pasti dan berpola dalam bentuk perundang-undangan yang ada.
Menurut adat setempat, pemilikan terhadap sebidang tanah ternetu ditentukan oleh siapa yang membuka tanah tersebut pertama kali dan intensitas hubungan antara penggarap (pembuka tanah) dengan tanah yang dibukanya. Pemukaan sebidang tanah didasarkan pada hak tradisional mereka terhadap tanah desa (pauman desa). Undang-Undang Pokok Agraria mencoba mengangkat hak-hak tradisional tersebut, terutama yang menyangkut tanah pauman menjadi hak-hak ang lebih luas, yaitu bentuk ulayat (pauman) yang dikuasai oleh negara. Pernyataan yang terakhir ini sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 2 dan 9 Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 tahun 1960. Sebenarnya, pemerintah, dalam hal ini AURI, menuntut tanah tersebut berdasarkan edaran Menhankam tentang anah0tanah yang telah dikuasai dan digunakan oleh Angkatan Bersenjata dan diperkuat oleh pasal 18 Undang-Undang Pokok Agraria. Dilihat dari segi keamanan, tanah lokasi persengketan merupakan kawasan yang tak terpisahkan dengan lapangan udara yang dikuasai oleh AURI.
90