Lompat ke isi

Halaman:Pola Penguasaan Pemilikan dan Penggunaan Tanah Secara Tradisional Daerah NTB (1986).pdf/100

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

yang tidak mengerti hukum dan telah memiliki hak-hak tradisional terhadap sejumlah tanah tertentu tidak semudah yang dibayangkan. Sebagai ilustrasi, berikut ini dikemukakan suatu contoh kasus tanah yang melibatkan sejumlah besar anggota masyarakat. Kasus tersebut adalah sebagai berikut :

Sebidang tanah yang terbentang di ujung paling Timur desa Surabaya, kecamatan Terara, kabupaten Lombok Timur. Lokasi tersebut oleh penduduk setempat disebut Rembang. Tanah Rembang tersebut adalah tanah pauman yang semula terdiri dari hutan belukar. Penduduk desa yang berada di sekitarnya membuka tanah tersebut untuk berladang, yang menurut istilah setempat "merau". Tiap tahun tanah tersebut tetap dimanfaatkan/digunakan dengan menanam segala jenis kebutuhan hidup. Luas tanah tersebut lebih kurang 40 hektar. Sekitar tahun 1929, pemerintah Hindia Belanda merencanakan pada lahan tanah tersebut mendirikan sebuah lapangan udara. Pada tahun itu Kontroler yang berkedudukan di Selong Lombok Timur mendatangi penduduk yang memiliki tanah tersebut dan dikumpulkan pada suatu tempat dengan mengutarakan rencana pemerintah untuk membuka lapangan teang. Pada waktu itu, semua masyarakat setuju karena pemerintah akan mengganti 1 hektar tanah menjadi dua hektar di sebelah Barat lokasi tanah Rembang. Di samping itu, pemerintah juga memberikan imbalan kepada penduduk masing-masing satu ringgit per hektar. Oleh karena lokasi baru di sebelah Barat tanah Rembang itu masih berupa hutan, maka penduduk membabat/membukanya sendiri.
Dari tanah yang baru dibuka tesebut, para penduduk menggarapnya dengan menanam segala macam kebutuhan hidup sehari-hari. Setelah merdeka, tanah tersebut tetap digunakan. Pada tahun 1972 Pemerintah Daerah setempat meminta kepada masyarakat penggarap tanah agar menanam kelapa dengan sistem tumpang sari. Pemerintah Daerah yang menanggung semua bubut kelapa. Jika kelapa sudah besar, rakyat bisa memiliki kelapa tersebut dengan membayar ganti kerugian. Setelah kelapa itu besar dan berhasil, pihak Pemerintah Daerah Melalui Dinas Perkebunan mendatangi masyarakat penggarap untuk meminta menanda tangani surat per-

89