Halaman:Mimbar Indonesia Vol 31-32.pdf/9

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Ada masalah saat menguji baca halaman ini

berarti „dia-mau-kerasi” atau „dia-mau-kerosi” jaitu tjita-tjita jang tidak bersifat fascis atau feodal atau pemerintahan sekelompok (kliekregeering) atau pemerintahan satu familie (familieregeering), tegasja dimana rakjat memerintah dengan perantaraan wakilnja, pemerintahan negara untuk rakjat dan dari rakjat.

Djikalau orang bertanja, apakah bedanja dengan demokrasi jang lazim dipakai dan apa gunanja dipakai perkataan Darul Islam, kenapa tidak Darul Demokrasi sadja, maka djawabnja dapat diberikan dalam satu kali gus, jakni sebabnja tidak lain, karena demokrasi jang lazim dipakai kata-katanja itu, berpokok dan berpangkal dari piagam Magna Charta, dari falsabah Hobbes, Hume dan Locke, dari Montesqieu, Rousseau, dan Marx sedang demoktasi jang mendjadi dasar bagi Darul Islam adalah ulu-airnja dari falsafah Islam dari segal sumbernja jang dapat memberikan petundjuk jang sjah dan baik tentang demokrasi itu. Menurut faham orang sekarang berhubung dengan tjita² Darul Islam itu, tudjuannja sama dengan demokrasi biasa, jaitu hendak mengadakan susunan dunia jang terlepas dari perhambaan satu negara atas negara lain, melnjapkan penindasan dan pemerasan orang atau bangsa pada umumnja, dan melenjapkan malapetaka perang serta membanteras kemiskinan dan kebodohan, dengan perkataan jang lazim: „menegakkan keadilan sosial”. Walaupun soal-soal jang dihadapinja sekarang sama dan tudjuannja serupa, akan tetapi sumber falsafahnja dan tempat ia mendapat inspirasi atau tempat ia mendapat andjuran, adalah lain dari demokrasi jang biasa.

Oleh karena soal-soal jang dihadapinja itu sama, kesulitan dan kesukarannja jang akan diatasi itu sama, maka kerdjasamapun dapat antara „Darul Islam-isten” dengan kaum nationalisten atau lain-lain golongan jang menudju tjita-tjita jang sama itu, dapatlah bisa berlangsung dengan sebaik²nja menurut aliran zaman, sehingga dengan fikiran begitu tidak ada alasan pada masing-masing golongan untuk bertentangan, mentjurigai atau menghalangi terdjadinja tjita-tjita darul-Islam iu dalam pengertian jang dikupas dan didjelaskan diatas, dan jang memangnja begitu jang sebenarnja.

Pada hakekatnja menurut azas-azasnja, sepandjang kitab sutji Islam dan hadis-hadisnja (jang djelas benar dalam perbuatan nabi s.a.w.) maka Islam itu demokratis, Darul Islam adalah tjita-tjita jang sama tudjuannja dengan tjita-tjita demokratis, hanja ulu-airnja jang berlainan

DJIKALAU seluruh Indonesia kelak telah merdeka bebas dan berdaulat penuh, dan pemerintahan telah ditangan bangsa Indonesia, sehingga urusan politik, sosial, perekonomian dan kebudajaan, keluar dan kedalam telah dapat dikendalikan oleh orang Indonesia sendiri, berserikat atau bersatu, tapi tidak terikat kepada siapa djuga, maka pembesar dan pemimpin bangsa kita dapat mengatur perhubungannja keluar negeri sendiri untuk seluruh Indonesia. Dalam keadaan jang sedemikian itu besar sekali faedahnja bagi kemadjuan bangsa Indonesia jang 90% lebih beragama Islam, berjubungan rapat dengan daerah-daerah umat Islam diluar negeri meneladani mana jang baik menjauhkan mana jang berisi anasir kemunduran tampaknja untuk keadaan di Indonesia. Tidaklah akan dapat disetudjui oleh anggapan umum sikap dan aliran setengah ahli fikir kita jang sekarang, jang ingin melengketkan riwajatnja semata-mata kepada pax Nederlandica, jang kita tahu semua kemadjuannja dan riwajatnja bersifat Kristen dan berdasar peradaban Kristen, jang tidak semuanja dapat kita tjontoh dan kita benarkan. Senantiasa mendjadi pertanjaan bagi orang banjak, memperhatikan penerangan Belanda sampai sekarang ini, dengan pergandanja, jang ada mentjeriterakan segala kedjadian besar dan ketjil, jang berisi kebesaran Nederland (memang penting untuk penduduk Belanda disini!), tetapi mendiamkan segala kedjadian jang penting dan berharga bagi umat Islam (jang timbul di Turki dan Negara-negara Arab umpamanja).

Pemandangan mesdjid di Paris. Sebelah kiri kelihatan menaranja. Dari sini kedengaran lima kali sehari suara mua'zin menghimpunkan sekalian ummat Islam untuk bersembahjang.

Rasanja apa jang penting untuk penduduk Belanda disini sudah berlebih-lebihan diutamakan dan diistimewakan, sedang apa jang penting untuk bangsa Indonesia, selama ini, dikesampingkan, baik tenang perekonomian maupun tentang kebudajaan. Kalau s.s. kabar Belanda berkata tentang „cultureel leven” „kunstleven” dan tentang „economische ontwikkeling”, maka dalam anggapan mereka; tidak tergambar apa jang mendjadi makanan serta kemadjuan rohani dan djasmani bangsa Indonesia, tetapi menghidupkan cultuur Belanda, Nederlandsche Kunst dan Nederlandsch gedachteleven. Dalam kemadjuan sosialpun jang sebenarnja harus diutamakan Indonesia dan Tionghoa, karena disini jang lemah terbanjak ialah Indonesia dan Tionghoa dan bukan teristimewa Nederlandsche weknemers jang telah kuat kedudukannja.

Selama Indonesia ini masih diperintahi setjara tidak demokratis, sonder ada parlemen selama tuan-tuan besar tidak bertanggung djawab pada badan perwakilan rakjat, selama masih ada kekuasaan Letnan Gobnor Djenderal jang nomor satu dan dibelakangnja