ke sana? Mengapakah dikatakan orang; adat bersendi syarak, syarak bersendi adat? Padahal seperti yang nyata tampat olehnya bertentangan kemauan orang yang mengeraskan adat dengan orang yang mengemukakan syarak dalam kekuasaan dan kewajiban mamak dan bapak kepada seseorang anak. Tidak heran jika kacau peri pergaulan berumah tangga di Minangkabau. Seperti tinta hitam dicampurkan dengan air susu yang putih tampak keadaan itu oleh guru Kasim; putih tidak hitam pun tidak pula, keruh, kacau bilau saja. Dapatkah disisihkan kembali dawat dari susu? Tidak baikkah dibuangkan saja campuran yang keruh itu, dan dicari yang baru saja, yang sesuai dengan kemauan zaman?
Sungguh, seperti keadaan sekarang, kacau bilau saja. Bukankah sangat rusak pergaulan hidup karena itu? Banyak perempuan-perempuan yang sengsara dan anak-anak yang tidak bertentu hidupnya, seperti yang telah dilihatnya sendiri di negerinya. Mereka membanting tulang sekuat-kuatnya mencari nafkah diri, agar supaya dapat hidup anak beranak. Sebab tidak sedikit mamak yang melengahkan kewajibannya kepada kemanakannya, karena mengeraskan agama dan lebih banyak pula lagi bapak yang tidak tahu sama sekali kepada anaknya, sebab bersandar kepada adat kebiasaan.
Semakin dikenangkan guru Kasim adat di negerinya, semakin kusut pikirannya. Oleh sebab itu dibulatkannya hatinya, dan dengan pikiran yang tetap ia pun berkata pula, katanya; "Buruk baik nasib anakku kemudian hari, tidaklah salah dari padaku, melainkan karena kaum keluarganya juga. Bagiku cukuplah usaha akan membawa anakku supaya dapat kudidik dan mudah-mudahan menjadi orang baik-baik kelak, akan tetapi dialangi oleh mentuaku yang berbentengkan adat itu. Apa boleh buat, aku tidak berkuasa dan tidak dapat berkeras membawa Syahrul, sebab aku orang diselang oleh kaum keluarga isteriku. Oleh sebab itu tak ada gunanya kupikirkan panjang-panjang jua hal ini, karena tak ada paedahnya, melainkan menyengsaikan badan saja. Mulai dari sekarang aku berjanji dengan diriku, takkan kawin-kawin lagi dengan orang kampungku, karena hasilnya menyakitkan hati saja. Semakin beranak aku dengan isteri orang kampungku, semakin makan hati aku olehnya."
Hatinya tetap, pikirannya bulat, dia akan melupakan segala kejadian di kampungnya yang sangat melukai hatinya itu. Segala
71