Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/64

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

di atas dunia ini? Sungguh, engkau sudah sesat benar-benar, sudah termakan cirit berendang. Engkau sudah seperti kuda Batak diberi berkekang oleh isterimu. Engkau buatkan ia rumah. Anakmu engkau manjakan sebagai anak raja-raja. Dan kepada isterimu engkau sebagai menating minyak penuh, hidup berkemewahan, senang dan sentosa sepanjang hari. Tak ada ubahnya sebagai pemaisuri raja dan tak pemah melihat cahaya matahari. Kalau musim ke sawah isterimu datang ke rumah kaum keluargamu, engkau larang mengantarkan nasi ke sawah, karena engkau takut Jamilah akan ditimpa panas. Tak usah kuterangkan semuanya, karena menyakitkan hati belaka dan perbuatanmu itu berlawanan dengan adat orang di kampung ini. Saya tidak mengerti dan amat heran memikirkan perbuatanmu itu. Orang lain engkau senangkan, padahal sanak saudaramu hidup berkekurangan, tidak engkau pedulikan. Jangankan engkau akan menolong kaum keluarga, menemui mereka pun amat jarang. Jika tidak terpaksa benar, tidaklah engkau datang menjelang mereka itu.

Sekarang engkau rasailah pembalasan budimu itu. Bagaimana? Sakitkah hatimu memikirkan perkataan mentuamu dan Datuk Besar itu? Tahukah engkau sekarang, siapa dan bagaimana engkau di rumah kaum keluarga isterimu itu? Tidakkah engkau sebagai diusirnya berterang-terang, karena engkau bukan keluarganya? Engkau orang Tanjung akan tinggal orang Tanjung jua selama-lamanya. Sakit akan mengobat, rusuh akan membujuk, mati akan menanam, tidaklah orang Pisang, melainkan kami juga. Dihinakan orang engkau, kamilah yang akan memikul, harum namamu, kamilah yang mendapat kemuliaan, sekali-kali tidak orang Pisang.

"Nah, hingga inilah saya bercakap dengan engkau. Perhatikanlah perkataanku, dan insaflah engkau yang akan datang. Ketauhilah olehmu bahwa engkau orang Tanjung, kemanakan kami, seturunan dengan Datuk Garang, mamakmu. Hingga ini ke atas saya harap, jika ada barang sesuatu yang hendak engkau brjakan, mupakatlah dulu dengan kaum keluargamu. Janganlah engkau berpandai-pandai saja, berbuat sesuka-suka hatimu. Sekianlah bicaraku, karena hari telah larut tengah malam. Tak usah engkau mengemis-ngemis juga hendak membawa anakmu, karena dia bukan kaum keluarga kita. Sepeninggalmu dapatlah aku memikirkan apa yang baik untukmu."

Guru Kasim berdiam diri saja mendengar perkataan mamak-

66