Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/57

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

muka isterinya. Jamilah melambai-lambaikan tangan dari serambi muka rumah itu, sebagai orang memanggil menyuruh datang dekat kepadanya. Guru Kasim berdiri menatap bayang-bayang itu, yang seolah-olah meminta pertolongan dan memohonkan rahim belas kasihan kepadanya. Jangankan ia takut memandang wajah isterinya yang telah meninggal itu, melainkan dengan berani ditolakkannya pintu gapura itu hendak menemui Jamilah. Akan tetapi ia tak dapat masuk, karena pintu gapura berkunci. Tidak lama antaranya, lalulah sebuah kahar. Maka guru Kasim pun insyaflah akan diri, bahwa ia sedang dilamun kenang-kenangan yang bukan-bukan. Sambil menarik napas ia berpaling, lalu naik kahar ke Tarok, ke rumah Datuk Garang, penghulu andiko pada kaumnya.

Setelah sampai di Tarok, maka sewa kahar pun dibayarnyalah. Ia berjalan ke rumah isteri Datuk Garang, yang tak berapa jauh dari jalan besar. Untung Datuk Garang ada di Tarok, tidak pulang ke rumah isterinya di Tiga Belas, di Aur Kuning atau di Birugo.

"Apakah sebabnya engkau datang malam-malam begini, Kasim?" ujar Datuk Garang sambil menyuruh kemanakannya duduk.

"Tidak apa-apa, mamak!" jawab guru Kasim. "Saya datang ke mari hanya hendak menemui mamak saja, sebab boleh jadi besok atau lusa saya kembali ke Pontianak."

"Tidakkah engkau hendak berhari raya di sini dahulu?"

"Tak sempat, mamak! Saya terpaksa berangkat dengan kapal yang akan datang ini, sebab kalau dengan kapal yang sebuah lagi, niscaya saya terlambat sampai di Pontianak."

Maka keduanya pun bercakap-cakap dan tak lama kemudian, juadah dihidangkan isteri Datuk Garang. Setelah sudah minum dan santap penganan sekadamya, maka diceriterakanlah oleh guru Kasim , bagaimana percakapannya dengan Tiaman dan Datuk Besar. Satu pun tak ada yang ketinggalan, habis semua dikatakannya. Datuk Garang berdiam diri saja mendengar ceritera kemanakannya itu. Maka guru Kasim pun berkata pula, katanya, "Tidakkah perkataan mamak Datuk Besar dan mentua saya itu menyakitkan hati, mamak ? Bukankah perkataan yang demikian itu "tidak layak didengar telinga ?"

"Tak patut engkau bersakit hati karena itu, Kasim !" jawab Datuk Garang dengan tenang. "Perkataan yang demikian sudah pada tempatnya, sudah digaris makan pahat. Boleh jadi juga sakit

59