Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/56

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

VI. ORANG SEMENDA

Orang semenda orang diselang,
berkarib karena perkawinan.
Kasihkan anak sibiran tulang,
maksud hati tidak berkenan.


Pada malam itu bintang-bintang gemerlapan cahayanya, sebagai berlian yang bertaburan di atas beledu biru rupanya. Kelelawar kelihatan terbang seekor demi seekor mencari mangsanya? Rama-rama malam mengembangkan sayapnya yang berukir-ukiran, terbang kian ke mari, lalu hinggap pada bunga sedap malam. Di jalan raya sudah mulai lengang, kendaraan tak berapa lagi yang lalu lintas, dan orang pun sudah jarang kelihatan.

Maka tampaklah guru Kasim membelok di Simpang Limau, menuju arah ke pasar Bukit Tinggi. Ia berjalan perlahan-lahan pikirannya berkacau bilau. Mengenangkan perkataan mentuanya yang mengatakan bahwa masih ada mamaknya yang akan mengasuh Syahrul, sungguh tak enak pada pendengarannya. Apalagi memikirkan pertanyaan Datuk Besar yang seakan-akan tidak percaya menyerahkan Syahrul kepadanya, padahal anaknya sendiri, sangat menyakitkan hatinya. Tidak ada ubahnya sebagai orang lain saja ia dipandang oleh kaum keluarga isterinya itu. Dalam pada berpikir-pikir demikian itu, terkenanglah ia akan anak jantung hatinya. Maka tiba-tiba terbayang di matanya muka Syahrul yang kecil molek dan kuning langsat itu, tetapi kemudian hilang lenyap dari pada pemandangannya, hilang sebagai takkan kembali lagi, entahkan untuk selama-lamanya. Sedih dan pilu beramuk dalam sanubarinya, karena ia tak dapat membawa anaknya. Maka guru Kasim pun berkata dalam hatinya; "Rupanya tak berhak sedikit jua saya kepada Syahrul, anak kandung saya sendiri. Mamaknya, Datuk Besar yang lebih berhak daripadaku kepada Syahrul! Padahal hampir tidak sedikit jua pertalian Syahrul dengan mamaknya, baik lahir atau pun batin?"

Sekonyong-konyong kedengaran olehnya seolah-olah ada orang memanggil namanya dari belakang. Guru Kasim berpaling, tetapi seorang pun tak ada yang tampak kepadanya. Tempatnya berdiri itu ialah pada jalan di muka rumahnya di Aur Tajungkang. Demi dilihatnya rumah tinggal itu, maka timbullah keinginannya hendak melihat rumah itu sekali lagi. Sampai di pintu gapura, maka tampak kepadanya suatu bayang-bayangan yang menyerupai

58