gal bersenang hati, karena Sutan dua beranak saja ke rantau orang. Sekarang saya tak sia-sia lagi melepas Sutan, dan dengan suci hati saya izinkan Syahrul Sutan bawa. Sungguhpun demikian, lebih baik Sutan mupakati juga dahulu dengan mentua Sutan. Kita dengar pula apa katanya, agar supaya sama-sama senang hati kedua belah pihak, sebab rantau jauh akan Sutan jelang. Saya harap hal ini sebagai mengambil rambut dalam tepung, rambut jangan putus, tepung jangan terserak. Jangan hendaknya mentua Sutan berkecil hati, sebab cucunya Sutan bawa saja, dan Sutan jangan pula menaruh gusar, jika sekiranya mentua Sutan tidak mengizinkan Syahrul berjalan."
"Sebenarnyalah yang mamak katakan itu!" ujar guru Kasim dengan girang. Mukanya berseri-seri, karena diizinkan membawa anaknya. "Makanya saya mupakati dengan mamak, hal itu jugalah yang saya takutkan. Seboleh-bolehnya, baik yang pergi atau yang tinggal sama bersenang hati hendaknya."
"Ajam!" seru Datuk Besar kepada kemanakannya. "Panggillah ibumu sebentar kemari, karena ada yang akan dibicarakan dengan dia."
Tidak lama antaranya Tiaman pun datang, lalu duduk berhadapan dengan menantunya. Setelah mereka itu merokok sebatang seorang dan Tiaman sudah mengunyah sirih pula sekapur, maka guru Kasim berkata, katanya, 'Ibu! saya terpaksa mesti berangkat hari Ahad ini ke Pontianak. Saya perlu tinggal di Betawi barang 3 atau 4 hari, sebab ada yang hendak saya urus di sana."
"Kalau begitu, tentu Sutan takkan berhari raya di sini!" ujar Tiaman sebagai orang bersedih hati. '"Tidak dapatkah diundurkan sampai pekan datang, Sutan?"
"Tak mungkin, ibu! Saya tinggal di Betawi itu, karena berhubung dengan pekerjaan saya jua."
"Belum cukup Sutan sebulan di rumah, sekarang akan pergi pula. Alangkah canggungnya Syahrul Sutan tinggalkan. Siapakah yang akan membawanya berjalan-jalan nanti waktu hari raya? Malang benar cucuku, ibu mati bapa berjalan!"
Air mata Tiaman telah jatuh bercucuran. Ia menangis tersedu-sedu, terkenangkan nasib cucunya yang malang itu. Oleh karena itu guru Kasim terpaksa berhenti meneruskan perkataannya. la berdiam diri beberapa lamanya, sedih bergelut pula di sanubarinya. Tidak lama kemudian Tiaman pun berhentilah dari pada menangis. Maka guru Kasim berkata pula, "Sebelum ibu
55