Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/47

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

ia di Bukit Tinggi, lalu naik kahar ke Aur Tajungkang. Sampai di muka rurnahnya, ia pun turun dari kahar. Demi dilihatnya pintu rumah terkunci dan di pekarangan penuh rumput-rumputan, serta bunga-bungaan yang ditanamnya dahulu sudah habis layu dan mati semuanya, rasakan pecah dada guru Kasim menahan sedih. Dinding rumah sangat kotor, bercoreng moreng dengan arang, lantai serambi muka penuh dengan sarap. Rupanya rumah itu sejak isterinya meninggal tidak diacuhkan lagi. Sangat pilu hatinya melihat rumah tinggal itu dan tidak diselenggarakan sedikit jua.

Beberapa lamanya kemudian dari pada itu, hati guru Kasim menjadi bimbang. Ragu ia memikirkan, ke mana akan mendapat. Akan pergi ke rumah mentuanya di Banto Darano, isterinya tak ada lagi; akan pulang ke kampung menemui kaum keluarganya, ingin hendak bertemu dengan anaknya tak dapat dikatakan. Maka diputuskannyalah pikirannya hendak ke Aur Kuning, kerumah pamilinya. Pikirnya, "Setelah barang-barang ini kutaruh kan di sana, aku terus ke Banto Darano dengan kahar ini juga." Maka guru Kasim naik kahar, lalu disuruhnya putar ke Aur Kuning, ke rumah pamili yang terdekat kepadanya. Setelah sampai, sekalian barang-barang itu dibawanya naik ke rumah. Pamilinya berkerumun, menanyakan ini dan itu selama guru Kasim meninggalkan kampung. Ada pula yang menceriterakan tentang kematian isterinya, dan menyatakan sedih hatinya mengenangkan anaknya Syahrul yang tak beribu itu lagi. Dan keadaan mereka pergi melawat dilarang Pemerintah, sebab penyakit Jamilah dipandang berbahaya, habis diceriterakannya belaka. Kira-kira setengah jam kemudian, maka diambil guru Kasim barang-barang untuk anaknya, lalu naik kahar pula ke Banto Darano. Tiba di muka rumah sewa kahar pun dibayarnya, dan ia berjalan masuk pintu gapura rumah mentuanya. Baru saja masuk pekarangan rumah, sudah tampak olehnya anaknya bermain-main di halaman. Melihat anaknya itu bagaikan remuk dada guru Kasim. Barang-barang ditangannya jatuh, ia berdiri dan berseru, "Syahrul ..................... !"

Anak yang sedang asyik bermain itu melihat kepada orang yang memanggil namanya. Baru saja ia melihat ayahnya, anak itu berlari-lari, lalu dipagutnya leher ayahnya. Guru Kasim duduk telhenyak, dan dengan air mata bercucuran dipeluk diciumnya anaknya itu. Setelah beberapa lamanya barulah ia insaf, bahwa ia

49