Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/46

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

ditutup, misalnya dari Palembang, Betawi, Lampung, Bangkahulu. Mereka itu pulang ke kampungnya mengunjungi orang tua, handai tolan, anak isteri dan sanak saudaranya. Kapal itulah juga yang membawa Kasim, guru kepala sekolah Gubernemen Pontianak. Tatkala kapal merapat ke pangkalan, sekalian penumpang tergesa-gesa turun, karena sangat rindu rupanya mereka itu hendak melihat kampung halaman, kaum keluarganya sekalian. Akan tetapi guru Kasim tidaklah tergopoh-gopoh sebagai orang banyak itu, melainkan biasa saja, tak acuh sedikit jua. Mukanya yang jernih dan berseri-seri dahulu itu sekarang tidak bercahaya lagi, tabiatnya sudah bertukar dengan tenang dari pendiam. Sejak kematian isteri yang dicintainya itu, ia amat suka bermenung dan bersunyi-sunyi seorang diri. Seakan-akan takut rupanya ia bertemu dengan orang, dan kalau bersua diikhtiarkannya mencari jalan supaya dapat menghindarkan diri. Demikianlah pula halnya waktu akan turun dari kapal yang ditumpangnya. Sudah hampir habis sekalian penumpang di kapal itu, ia masih berdiri juga di geladak kapal. Ketika dilihatnya penumpang tak ada lagi, barulah guru Kasim turun ke pangkalan dan terus berjalan ke setasiun. Setelah karcis dibelinya, maka ia pun berangkatlah dengan kereta api pukul delapan lewat dari Teluk Bayur.

Di atas kereta api pun guru Kasim mencari tempat yang sunyi, supaya ia jangan diganggu orang. la duduk dengan tenang, memandang ke luar kereta, melihat pohon-pohonan yang seakan-akan berlari-lari berkejar-kejaran nampaknya. Biarpun demikian keindahan pemandangan masa itu, gunung-gunung kelihatan makin lama makin besar juga, sebagai para puteri yang berbaju sutera hijau yang hendak mengelu-ngelukan jamu rupanya, dan bukit barisan nampak membalam dari jauh, seolah-olah naga yang sedang melancar laiknya, tidak diindahkan sedikit jua oleh guru Kasim. Sungguh pun matanya memandang ke sana, dan hampir tidak dikejapkannya, akan tetapi pikirannya melayang jauh entah ke mana. Pada tiap-tiap halte anak-anak dan perempuan-perempuan berteriak-teriak menyerukan juadah, tetapi semuanya itu sebagai tidak kedengaran olehnya. Ia duduk terpaku dan tidak bergerak-gerak di atas sebuah bangku di sudut deresi. Demikianlah hal guru yang kecewa dan malang itu di atas kereta api. Jika ia tidak memalingkan mukanya melihat tulisan "Fort de Kock" di muka setasiun, tak dapat tiada guru Kasim sudah terus dibawa kereta api ke Paya Kumbuh . Pukul 4 petang tibalah

48