Lompat ke isi

Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/34

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

ta, "Selamat berangkat, Sutan! Mudah-mudahan Sutan dipelihara Tuhan dalam pelayaran, jangan kurang suatu apa. Di Pontianak pun Sutan dalam kandungan sehat-sehat saja hendaknya. Saya harap bulan puasa ini Sutan pulang juga, karena Jamilah rupanya tak sanggup bercerai lama-lama dengan Sutan."

"Baik, bapak!" jawab guru Kasim. "Bapak dan sekalian kaum pamili yang tinggal pun demikian pula hendaknya. Umur panjang, badan sehat walafiat, segala bencana dihindarkan Allah. Saya ucapkan: selamat tinggal dan selamat sampai bertemu lagi."

Maka guru Kasim pun pergilah mendapatkan isteri dan anaknya yang berdiri agak jauh sedikit, lalu memegang tangan Jamilah, katanya, "Jamilah, sesaat lagi kita akan bercerai. Sepeninggalku ingat-ingat engkau membela anak dan menjaga dirimu! Mudah-mudahan jangan engkau kurang suatu apa selama kutinggalkan. Sehat-sehat saja kita hendaknya sampai bertemu lagi."

Jamilah tak dapat menahan sedih, air matanya jatuh berlinang-linang. Perasaannya entah di mana, badannya berasa bayang-bayang, sepatah pun tak dapat ia mengeluarkan perkataan. Mulutnya bagai terkunci, serasa takkan bertemu lagi ia dengan suaminya, padahal bercerai hanya tiga bulan saja. Maka guru Kasim pun berkata pula, katanya, "Selamat tinggal, Jamilah, tidak lama kita bertemu lagi!"

Maka dilepaskannya tangan isterinya, sambil menarik napas panjang. Kemudian dicium dan dipeluknya Syahrul, buah hati pengarang jantungnya itu. Maka dengan segera ia berjalan cepat-cepat ke kapal. Jamilah berdiam diri saja memandang suaminya, ia tidak sadarkan diri lagi. Badannya kaku, ia berdiri sebagai patung di pangkalan kapal itu. Maka kedengaranlah bunyi seruling kapal yang ketiga kali dan tali temali pun dilepaskan orang. Tatkala sekerup kapal bergerak, guru Kasim melihat ke pangkalan. Demi dilihatnya Syahrul menangis memanggil-manggil ayah dalam dukungan mentuanya yang perempuan, dan memandang tangan isterinya dipegang Tuanku nan Sati, dengan segera ia masuk kembali, karena perasaannya amat sedih memandang hal yang demikian itu.

Setelah kapal keluar dari pelabuhan, barulah guru Kasim naik ke geladak kapal akan melihat tamasya lautan perintang-rintang hatinya. Teluk Bayur tidak kelihatan lagi, kapal sudah membelok menempuh lautan besar. Ketika ia melayangkan pemandangannya

36