berjalan. Lonceng dua berbunyi, guru Kasim naik kereta. Setelah kedengaran lonceng yang ketiga kali, kereta mulai berangkat. Maka sekalian kawan-kawannya melambai-lambaikan saputangan, demikian pula sebaliknya. Tiba-tiba hujan lebat pun datang, seakan-akan menunjukkan dukacitanya melepas guru itu berjalan.
Hari Selasa pukul 12 tengah hari kapal berangkat dari Teluk Bayur ke Betawi. Pagi-pagi hari itu orang sudah banyak di pangkalan. Sungguhpun hari masih pukul 10 lewat, tetapi orang sudah penuh sesak, akan mengantarkan kaum keluarganya yang hendak berlayar. Kopor, kasur bantal dan barang-barang lain beronggok-onggok di pangkalan. Di sini setumpuk, di sana setumpuk menurut kepunyaan masing-masing. Karena sekalian mereka itu belum boleh naik kapal, maka terpaksalah berpanas sambil menunggui barang-barangnya. Hari panas amat terik, sebab itu mereka mandi peluh, bagaikan rengkah kepalanya ditimpa panas. Banyak juga yang berlindung di bawah cucuran atap gudang-gudang, tetapi badannya basah juga, sebab peluh mengalir seluruh tubuhnya.
Pukul 11 lewat guru Kasim datang bersama kaum keluarganya. Mereka itu terus saja naik kapal, karena penumpang kelas 2 diizinkan naik lebih dulu. Setelah selesai sekalian barang-barangnya naik kapal, maka dibawanyalah anak isteri dan sekalian keluarganya melihat-lihat keadaan di kapal itu. Kemudian mereka itu turun ke pangkalan, bercakap-cakap menyatakan pemandangan masing-masing, akan pelengah duka nestapa yang terkandung di hati kedua belah pihak. Sedang mereka itu asyik berkata-kata, maka kelihatan penumpang geladak berebut-rebutan naik. Mereka itu dahulu- mendahului, amat sibuk masa itu. Teriak kuli yang membawa barang, riuh rendah bunyinya.
Tatkala seruling kapal berbunyi yang pertama kali, menyatakan kepada orang-orang kapal atau pun penumpang supaya bersiap, pada waktu itu sangat berasa oleh Jamilah keberatan perceraian itu. Berdebar hatinya ketika diingatnya suami yang sangat dikasihinya itu akan luput dari pemandangannya. Mulanya ia akan menyangka perceraian itu, apalagi hanya tiga bulan, akan dapat dilipurnya. Akan tetapi semakin dikenangkannya, semakin sedih hati Jamilah.
Guru Kasim bersalam meminta maaf kepada mentua dan pamili yang mengantarkan dia. Ketika ia bersalam dengan Tuanku nan Sati, yaitu mentuanya yang laki-laki, orang tua itu berka-
35