Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/29

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Guru Kasim mengulurkan tangan, bersalam kepada murid-muridnya akan memberi selamat tinggal. Sekalian murid menyambut salam gurunya dengan air mata berlinang-linang, sebagai tak sanggup mereka bercerai dengan guru yang sangat dicintainya itu.

"Bila engku berangkat, engku?" kede ngaran suara seorang murid yang agak besar di belakang kelas. "Kami hendak pergi bersama-sama mengantarkan engku ke setasiun!"

"O, ya!" kata guru Kasim, "saya berangkat ke Padang besok pagi, kereta pukul 9 dari sini."

"Syukur!" kata murid itu pula dengan sukacita. '"Kawan-kawan, mari kita pergi ke setasiun mengantarkan engku guru!" Esok paginya itu hari Ahad.

"Baik!" jawab kawan-kawannya serentak akan membenarkan ajakan itu.

Setelah sudah bersalam-salaman dengan murid-muridnya, guru Kasim pergi ke kelas lain memberi selamat tinggal kepada murid dan guru di kelas itu. Kemudian ia pergi ke kantor tuan Asisten Residen, akan mengabarkan hari berangkatnya. Hampir pukul sebelas barulah selesai segala urusan yang bersangkut dengan kepindahannya itu. Ia tidak balik lagi ke sekolah, melainkan terus saja pulang ke rumahnya. Didapatinya orang di rumahnya sudah banyak. Sungguhpun guru Kasim tunggal, tidak bersanak, yatim piatu pula, akan tetapi karena seorang yang berbudi dan pandai membawakan diri, banyak juga keluarganya biarpun jauh datang membawa bekal akan pelepasnya berlayar. Bermacam-macam pembawaannya masing-masing. Ada yang membawa kue-kue, sagun-sagun, emping, rubik, wajik dan lain-lain. Bahkan ada pula yang membawa rendang, sambal lada, goreng ayam, pengat ikan dan sebagainya. Di dapur perempuan-perempuan sibuk bekerja memasak ini dan itu. Sehari-harian itu guru Kasim bekerja keras, ikat-mengikat, bungkus-membungkus, mana yang perlu dibawanya.

Setelah petanglah hari, maka selesailah semuanya: satu pun tak ada lagi yang ketinggalan. Sudah mandi dan menukar pakaian, guru Kasim duduk ke beranda muka berhentikan lelah bekerja sehari itu. Baru ia duduk di atas kursi dan melayangkan pemandangannya ke gunung Merapi yang sedang diliputi awan itu, tiba-tiba Jamilah datang, lalu duduk di sisinya.

"Apakah sebabnya matamu merah dan bengkak, Jamilah?"

31