ini kami berangkat ke Padang."
"Ya Allah! benar kiranya!" kata Tiaman dalam hatinya. "Jika aku ditinggalkan anakku, niscaya aku akan kurus kering. Cucuku tentu akan dibawanya pula, . . . . . cucuku hanya seorang itu . . . . . Dialah obat jerih pelerai demam kepadaku. Mati sesat aku kalau ditinggalkannya!"
Pikiran Tiaman kelam kabut, hatinya remuk amat sangat. Terbayang dimatanya bagaimana sedihnya perceraian itu kelak. Karena pikirannya sangat berkacau, tiba-tiba keluar perkataan dari mulutnya, katanya, "Tak mungkin!"
"Apa yang tak mungkin, ibu?" ujar guru Kasim sambil melihat kepada mentuanya.
Tiaman terkejut, karena dengan tak sengaja ia mengeluarkan perkataan dernikian. Sebab sudah telanjur, terpaksa ia mengatakan perasaannya, katanya, "Ya, tak mungkin ! Aku tak dapat bercerai dengan anak dan cucuku."
"Kalau begitu, ibu ikut kami saja bersama-sama ke Pontianak."
"Itu pun tak pula mungkin. Dengan siapa rumah gedang ditinggalkan? Bagaimana sawah dan ladang? Siapa akan menguruskan ternak? Bukankah Sutan tahu, bahwa ibu tidak berkaum keluarga perempuan yang kandung?"
"Itu perkara mudah, ibu ! Sawah, ladang dan ternak boleh diperseduakan saja. Rumah, ibu pertaruhkan kepada keluarga yang terdekat."
"Tidak, tak mungkin, tidak mudah melakukannya, Sutan. Ibu tak dapat beranjak dari rumah itu. Jika ibu pergi, tak dapat tiada kucar-kacir sekaliannya."
"Masakan kucar-kacir! Misalnya, rumah disuruh huni oleh ibu Juriah. Temak dan sawah ladang diperseduakan. Mamak bukankah ada yang akan menguruskannya. Apa salahnya tak ada alangan, bukan?"
"Mengatakannya memang mudah!" kata Tiaman sebagai orang tak bersenang hati. "Akan tetapi melakukannya sukar. Lagipula ibu sudah tua, akan berlayar sejauh itu? ibu tak dapat pergi dan tak pula mungkin ditinggalkan Jamilah. Jika ibu sakit, siapa yang akan mencarikan obat, susah siapa yang akan membujuk. Tak dapat tiada aku akan mati kejang saja seorang
diri di rumah gedang itu. Tidak, Sutan! Tak mungkin Jamilah
26