kurang patut, kita kurang menerima kasih namanya."
"Benar, kata Sutan itu !" ujar Datuk Besar tiba tiba."Menurut pikiran saya pun lebih baik Sutan turut perintah itu. Nanti jika hati Sutan kurang senang di sana, bukankah boleh minta pindah kembali ke negeri awak ?"
" Apa salahnya, tak ada alangan,"–jawab guru Kasim dengan suka, karena ia dapat bantuan dalam percakapan itu. "Asal cukup alasan, tentu permintaan saya dikabulkan. Misalnya karena hawa negeri tidak sesuai, selalu dalam sakit-sakit saja. Dan kalau saya senang saja di sana, selama-lamanya hanya 2 tahun. Setelah itu dipindahkan pula kembali ke negeri ini."
Tiaman berdiam diri. Ia merasa tak kan mungkin menahan menantunya juga. Dalam pada itu Datuk Besar berkata pula, "Jadi bila Sutan berangkat ke Pontianak ?"
"Jika disampaikan Tuhan dalam pekan ini juga. Saya harus sampai di sana sebelum habis bulan. Oleh sebab itu saya mesti berangkat dalam dua tiba hari ini."
Kemudian guru Kasim berpaling kepada menantunya, lalu berkata pula, "Tidak mengapa ibu! Izinkanlah kami barang setahun dua ke negeri itu. Bercerai setahun itu takkan lama, asal tidak ibu kenang-kenangkan. Ibu doakanlah, mudah-mudahan kami sehat-sehat saja di Pontianak dan selamat bertemu kembali."
Sebagai disambar petir Tiaman mendengar perkataan menantunya menyebut "kami" itu. Mukanya pucat bagai kain putih, matanya terbeliak sebesar-besarnya, bibirnya bergerak-gerak seakan-akan ada yang hendak dikatakannya. Ia duduk terpaku di atas tikar di hadapan menantunya. Dadanya turun naik, tak tentu apa yang akan diperbuatnya. Setelah beberapa lamanya dengan hal demikian itu, maka ia pun berkata sendirinya, "Kami, maksudnya lain tidak anakku, Jamilah . . . . . ! Aduhai, aku akan bercerai dengan anak dan cucuku ..... berpisah sejauh itu ? Tak mungkin ? Anakku hanya Jamilah seorang perempuan. Cucuku pun tak ada yang lain dari pada Syahrul. Tidak sanggup aku bercerai dengan dia. Takkan kuizinkan dia berjalan sejauh itu, mati aku ditinggalkannnya." Maka dengan gugup Tiaman berkata, katanya, "Kami, maksud Sutan itu hendak berangkat bersama-sama dengan Jamilahkah ?"
"Tentu saja, ibu! Dengan siapa lagi? Bukankah isteriku hanya Jamilah seorang? Jika tidak beralangan apa-apa, hari Minggu
25