Halaman:Memutuskan pertalian.pdf/14

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

kesal dan amarah. Dikatakannya pikiran saya kurang sempurna, sebab sebentar menyebut: kebersihan, sebentar dukun tak pandai, sebentar mengatakan: pertolongan dokter dan sebentar pula kutu-kutu penyakit. Saya mengatakan ”berbahaya” itu, pada pikirannya saya seolah-olah menyuruh anaknya mati. Macam-macam katanya dan tak enak sedikit juga didengar telinga.”

"Masya Allah! Sungguh terlalu mentua engku itu,” ujar guru Kasim menggeleng-gelengkan kepalanya.

”Ya, karena jawabnya yang tak tentu ujung pangkalnya itu, saya katakan dia sebagai orang kemasukan setan. Saya tak sabar lagi, karena perkataannya sudah melewati batas kepada saya.”

”Berdiam diri sajakah mamak Saleha mendengar pertengkaran engku dengan mentua engku itu?”

”Ketika mamak Datuk Baginda melihat mentua saya sudah marah, dan hal itu boleh mendatangkan perselisihan, dengan segera dicampurinya. Mentua saya disuruhnya ke belakang, maka saya perundingkanlah hal itu dengan mamak Datuk Baginda.”

”Bagaimana pula kata mamak Saleha?” ujar guru Kasim.

”Ia menyalahi sanaknya dan pikirannya sesuai dengan pikiran saya. Akan tetapi permintaan mentua saya itu dibenarkannya pula. Diterangkannya bagaimana kasih seorang ibu kepada anaknya. Oleh sebab itu disuruhnya izinkan Saleha dibawa ibunya, sebab mati dan hidup itu hanya bergantung kepada Tuhan yang Esa jua.

"Mendengar kata Datuk Baginda yang mengatakan "kasih seorang ibu kepada anaknya,” saya pun insaf akan diri. Ketika itu terasa benar kepada saya, siapa dan bagaimana keadaan diri saya. Tentu saja saya tak dapat berkeras lagi, sebab saya ini orang lain,yaitu orang semenda. Karena saya yakin, bahwa saya tak mungkin lagi menahan isteri saya juga, maka saya izinkanlah Sak leha pulang dengan ibunya

"Demikianlah kesudahannya. Hati saya kesal, perasaan saya tak sedap sedikit jua. Apalagi melihat Saleha tak hendak berkata sepatah jua, melainkan menangis saja, pikiran saya semakin kusut. Saya pergi berjalan-jalan dengan tak tentu arah, sambil memikir-mikirkan kejadian itu Di tengah jalan saya bertemu dengan engku lamal Demi dilihatnya saya bersusah hati, ia bertanya, apa yang sava pikirkan Mula-mula saya tak hendak menerangkan, karena Isteri saya sekampung dengan dia. Akan tetapi karena,saya disesakkannya juga, terpaksa saya menerangkannya. Maka saya

16