mayur, tak ubahnya sebagai sebuah taman, karena tiap-tiap macam tanaman itu teratur tumbuhnya. Kebun itu berpagarkan pohon kunyit, dan tanaman lada disela dengan bawang, serta ditengahnya ada sebuah bangku yang dilingkungi silderi.
Engku Kasim, yakni orang yang duduk dalam bilik tulis itu, seorang guru bantu di sekolah Gubernemen No.1 Bukit Tinggi, sedang asyik memeriksa pekerjaan murid-muridnya. Setelah sudah, disusunnya kitab-kitab itu dengan baik, maka dilihatnya arloji baru pukul setengah lima lewat. Maka diambilnya sebatang sigaret dan dirokoknya sekali, lalu pergi duduk ke serambi muka akan melepaskan lelah. Sambil mengirup rokok, guru Kasim melayangkan penglihatannya ke gunung Merapi dan gunung Singgalang, karena dari rumahnya di Aur Tajungkang, memang lepas pemandangan ke gunung yang dua sejoli itu. Ia merenung melihat gunung Merapi yang hijau tak berawan itu, amat indah rupanya kena sinar petang, menyejukkan pemandangan, melapangkan dada dan menimbulkan bermacam-macam kenang-kenangan. Memandang rumah-rumah di kaki gunung itu, gilang-gemilang rupanya kena cahaya matahari, dan melihat asap kepundan yang bergumpal-gumpal mengepul ke langit angkasa lazuardi, pikiran guru Kasim melayang jauh entah ke mana. Tiba-tiba ia terpandang kepada batu di puncak gunung itu, yang melukiskan gambar orang sedang memegang suatu barang pada tangannya. Maka ia pun teringat akan suatu dongeng dari orang ke orang yang menceriterakan, bahwa batu itu asalnya dari pada seorang serdadu yang ingin hendak kaya, pergi menemui Dewi Dermawan di puncak gunung itu, akan memohonkan kemurahannya. Akan tetapi karena serdadu itu kurang hati-hati, tidak sabar dan tak pandai menahan hawa nafsu, akhirnya ia menjadi batu.
”Sungguh amat indah negeri tumpah darahku ini!” kata guru Kasim dalam hatinya. "Tidak sedikit pemandangan yang bagus-bagus, dan tidak pula jauh dari kota. Misalnya Ngarai (Karbouwengat), Ngalau Kamang dan lain-lain sebagainya. Iklim negeri ini pun amat bagus, banyak bangsa Asing datang ke mari mengambil hawa sejuk atau bertamasya melihat-lihat keindahan alam. Sungguh, jika aku dipindahkan ke negeri lain, amat berat hatiku rasanya. Di sini aku senang, badan sehat, rumah tidak menyewa, beras dan kayu tidak membeli, makanan segala murah. Kendatipun aku bergaji kecil, tetapi cukup untuk penghidupan anak beranak.”
Dalam hal yang demikian itu, tiba-tiba masuk seorang muda hampir sebaya dengan dia ke dalam pekarangan rumahnya,
12