Halaman:Limpapeh.pdf/15

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini telah diuji baca

bungsu Maharajo Di Rajo, nan turun ka pulau Ameh nangko.

Takalo maso dahulu, samusim maso saisuak, Iyo bak ka- to pusako :


“Dimano titiak palito,
di baliak telong nan batali.
Di mano turun niniak kito,
di lercang gunuang Marapi”.


Menurut cerita rakyat yang berupa "kaba" atau “tambo", tanah air kita dahulunya belumlah terpisah-pisah seperti sekarang ini. Tanah Air kita bersatu dengan tanah Semenanjung Malaka sampai ke Asia.

Dimasa topan Nabi NUH a.s, (kiamat Nabi NUH) hancurlah tanah-tanah itu dilanda oleh banjir besar dan terjadilah selat-selat dan laut-laut yang tidak luas benar, Tanah Air kita terpisah-pisah, menjadi. pulau-pulau besar dan “kecil yang tidak terhitung banyaknya.


“Pisan sirauik bari hulunyo,
diasah mako bamato,
Lautan sajo dahulunyo,
mako banamo pulau Paco".


Sewaktu air surut Maharajo Di Rajo berlayar. Beliau mendapati gunung Merapi telah timbul dan berlabuh perahu beliau di kaki gunung itu. Setelah dataran di kaki gunung Merap! itu keting, mulailah ditunggui dengan membuat tempat tinggal, masing-masing dengan jarak yang tidak jauh benar dan inilah yang disebut “taratak”. Beberapa “taratak” disusun menjadi satu “kampuang”. Kemudian beberapa "kampuang" disatukan manjadi dusun seterusnya menjadi "koto“ dan nagari.

Demikianlah Maharajo Di Rajo mengatur susunan taratak sampai menjadi nagari, di lereng gunung Marapi yang bernama Pariangan. Kemudian dibangun pula di sebelahnya "nagari" Padang Panjang. Sejak itu Pariangan -Padang Panjang disebut “Nagari Kembar".

3