Cerita diakhiri dengan meninggalnya Rasmani setelah menunggu dalam penantian dan kekecewaan yang panjang dan tidak berujung. Rasa tawakal dan kesediaan menerima takdirlah yang membuat Rasmani sanggup memikul bebannya selama ini hingga akhir hayatnya. Cintanya pada Masrul pun dibawanya sampai ke liang lahat. Selasih pun telah menyatakan akhir cerita novel ini ditutup dengan kepergian Rasmani dengan kalimat “Abang jua yang akan pergi ziarah ke kubur saya” (Selasih, 200220).
Kepergian Rasmani meninggalkan rasa sesal yang tidak berkesudahan pada diri Masrul. Masrul harus menanggung Penyesalan sepanjang hidupnya karena menyia-nyiakan cinta Rasmani, yang dibawanya sampai akhir hayatnya. Rasmani harus menemui ajalnya sebelum dapat berkumpul dengan laki-laki yang selama ini begitu dicintainya. Tokoh dalam novel tersebut berada dalam keadaan berkumpul dan berpisah selamanya, kembali dan menghilang selamanya.
“Kak, saya tahu akan kesalahan saya dan sesal yang tak berkeputusan akan menurutkan saya ke mana pun saya pergi dan akan memahitkan kehidupan saya selama-lamanya.” Sebelum Dalipah menjawab, ia telah berdiri hendak berangkat. Surat Rasmani yang dipegang itu sebagai akan cair diremasnya. Bukan karena marah kepada Dalipah, melainkan karena kesal hati dan sesal yang tak berhingga (Selasih, 2002:154).
Dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck, situasi si malakama juga menimpa Zainuddin dalam bentuk yang lain. Dengan penuh harapan ia meninggalkan Mengkasar menuju tempat yang dianggapnya sebagai kampung halamannya. Tarapannya sangat besar terhadap negeri ayahnya itu, tetapi kenyataan berbicara lain. Ia harus menjumpai kenyataan yang Sama sekali jauh dari harapannya semula.
Tak ubahnya kedatangannya ke Minangkabau, bagai musafir yang mengharapkan minuman dan
81