Sementara itu, konsep budi menjadi dasar utama dalam pergaulan masyarakat Minang. Budi menjadi dasar dan ikatan dalam menjalankan hidup dan tugas seseorang dalam dan untuk bersama. Dalam pergaulan hidup, budi inilah yang menjadi pengikat individu pada masyarakatnya atau pada orang lain. Terkadang ikatan budi ini malah lebih kuat dari pada ikatan darah sekali pun. Seseorang yang terikat dengan budi akan merasa berutang pada si pemberi budi. Orang yang berutang budi akan berusaha membalas utang budi tersebut dengan budi juga. Hal itu meyakinkan kita bahwa budi tersebut merupakan sumber perbuatan baik yang dilakukan seseorang kepada orang lain dalam pergaulan hidupnya.
Kecenderungan dua sisi yang berbeda inilah yang pada akhirnya menimbulkan konflik. Di satu sisi, orang Minang sangat memegang teguh konsep harga diri yang membuat mereka pantang direndahkan ataumenjadi rendah dari orang
lain. Namun, di sisi lain, orang Minangkabau juga terikat dengan kosep budi yang mengajarkan orang Minang untuk selalu membalas budi yang pernah diterima dalam pergaulan hidup di dalam masyarakatnya dengan budi juga. Demikian tingginya, harga budi terkadang tidak terbalaskan sampai mati
dan demikian tingginya, harga diri yang membuat orang Minang tidak pernah mau direndahkan atau dipandang rendah. Hal itulah yang mendorong terjadinya konflik. Namun, konflik tersebut masih dalam batas keseimbangan dalam
pertentangan.
2.2.3 Konflik antara Lama dan Baru
Berdasarkan analisis yang dilakukan terhadap novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940, terlihat adanya konflik antara lama dan baru itu. Sebagaimana halnya konsep sejarah Minangkabau yang berkembang secara spiral, perkembangan alur novel berlatar Minangakabau juga selalu
bersifat spiral. Perkembangan secara spiral ini membuat orang Minang berada terus-menerus dalam ketegangan antara sifat permanen dan perubahan antara yang lama dan yang baru.
32