Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/43

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Kepergian Zainuddin (dalam Tenggelamnya Kapal van der Wijck) dari kampung halaman ayahnya didorong oleh perasaan kecewa dan sedih atas perlakuan keluarga ayahnya dan orang-orang di kampungnya yang hanya mengang- gapnya sebagai orang asing yang malang dan melarat serta tidak jelas asal usulnya. Ia dianggap tidak pantas mendampingi Hayati yang berasal dari keturunan orang berada dan jelas asal usulnya. Walaupun demikian, ia masih memiliki harga diri yang tinggi. Ia tidak mau terus-menerus direndahkan. Ia tidak ingin harga dirinya diinjak-injak oleh orang-orang yang telah dianggapnya sebagai keluarga sendiri. Untuk itu, ia memutuskan pergi dan meninggalkan segala kenangan indah yang pernah direguknya yang pernah direguknya dengan Hayati. Harga diri itu jugalah yang akhirnya memi-sahkannya dengan Hayati, padahal kesempatan untuk kembali bersatu terbuka lebar. Dendam atas perlakuan keluarga Hayati pada dirinya dulu menutup mata hatinya. Ia melupakan cinta dan kasihnya pada wanita yang sangat diidamkannya itu.


Peristiwa yang terungkap dari novel-novel tersebut memperlihatkan adanya konflik antara harga diri dan malu di satu sisi, dengan serta konsep budi dan sistem perkawinan eksogami di sisi yang lain. Konflik antara harga diri dan budi itu mendominasi hampir sebagian besar novel yang menjadi data penelitian ini. Dari sepuluh novel yang menjadi data penelitian, delapan di antaranya memperlihatkan adanya konflik yang terjadi karena adanya pertentangan antara konsep harga diri dan konsep budi yang sangat dipegang teguh oleh masyarakat Minangkabau.


Orang Minang memegang teguh konsep harga diri dan selalu berusaha membangun dan memeliharanya karena sesuai dengan falsafah "duduk sama rendah, berdiri sama tinggi" mengajar mereka bahwa unsur alam tidak saling melenyapkan sehingga hubungan antarmanusia dipandang secara demokratis oleh orang Minang. Mereka selalu berusaha menjadi sama dengan orang lain. Pantang bagi orang Minang menjadi rendah atau dipandang rendah. Kecenderungan seperti itulah yang membuat orang Minang memegang teguh konsep harga diri.

31