Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/22

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

seorang penikmat atau pengamat yang tetap berubah. Manusia tidak pernah statis, tidak pernah sama karena ada perubahan fisik dan psikis yang terus-menerus, juga karena adanya latar sosiokultural yang terus berkembang.

Penelitian terhadap novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940 dari segi konflik sebagai konsep estetika ini menggunakan pendekatan atau teori fenomenologis. Faruk (1987) menawarkan teori ini dengan tujuan memadukan dua paradigma, yaitu paradigma subjektif dan paradigma objektif. Hal yang terdapat pada teori sastra lainnya karena menurut Faruk seluruh teori sastra yang pernah ada sesungguhnya dapat dibedakan ke dalam dua paradigma tersebut. Melalui teori fenomenologis, dua paradigma tersebut dipadukan. Teori itu berusaha untuk memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang biasa dalam situasi tertentu.

Sosiologi fenomenologi pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh filsuf Edmund Husserl. Husserl (dalam Eagleton, 1988:61) menyatakan bahwa alam pikiran manusia berawal dari kesadaran terhadap sesuatu. Manusia secara sadar mengarahkan pikirannya pada suatu benda. Perbuatan berpikir dan buah pikiran berhubungan secara mendalam dan saling bergantung satu sama lain. Kesadaran tersebut bukan hanya suatu rekaman dunia yang pasif, tetapi menginginkan dunia tersebut ada. Untuk mendirikan kepastian tersebut, kita harus mengesampingkan semua yang berada di luar pengalaman terdekat kita. Hal itu menurut Husserl merupakan langkah yang pertama dan penting dalam teori fenomenologi. Semua unsur yang tidak terdapat dalam kesadaran harus dikeluarkan. Semua kenyataan harus dilihat sebagai "fenomena" mutlak. Namun, pendapat Husserl ini memiliki kelemahan karena mungkin apa yang kita temui, jika menyimak isi pikiran kita, tidak lebih daripada suatu arus fenomena yang kacau dan tidak dapat dijadikan sebagai dasar

kepastian. Untuk menyempurnakan apa yang telah diuraikan oleh Husserl, Eagleton (1988:162) menjelaskan bahwa fenomenologi bukan hanya mengkaji apa yang tampak apabila kita melihat

10