yang akhirnya menjurus pada perpecahan. Namun, seperti yang dikatakan olek Yazid (2003), pada dasarnya konflik adalah salah satu unsur pembawaan dan keberadaannya sangat urgen dalam kerangka peningkatan kualitas kehidupan manusia.
Menurut Suparlan (1985), konflik adalah suatu gejala yang terjadi dalam proses perkembangan masyarakat yang sedang mengalami perubahan sosial dan perubahan kebudayaan. Konflik pasti terjadi dalam kehidupan suatu masyarakat yang terus berjalan dan berkembang. Akan tetapi, yang menjadi persoalan adalah seringkali masyarakat memandang konflik itu dalam arti yang sempit sehingga konflik diartikan sebagai pertengkaran, perselisihan, perusakan, pembunuhan, dan tindakan kekerasan yang biasanya terjadi dalam sebuah revolusi yang keras. Jadi, dalam pandangan kehidupan normal dan sewajarnya, orang cenderung menghindari konflik karena berkonotasi terhadap sesuatu yang negatif. Mereka menyukai kehidupan yang tenang tanpa harus dijejali oleh konflik yang menyebabkan ketidaknyamanan dalam kehidupan mereka.
Namun, dalam kenyataannya, tidak ada satu masyarakat pun dalam proses perkembangannya yang tidak mengalami adanya konflik karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak dapat hidup terus-menerus dalam keteraturan dan statis dalam hidup yang monoton, tetapi juga tidak dapat hidup terus-menerus dalam kekacauan dan pertentangan. Jadi, dapat disimpulkan bahwa konflik dalam kehidupan nyata penting adanya karena ia seperti bumbu masakan yang jika tidak diadakan akan mengurangi rasa dan kelezatan masakan itu, mengurangi makna kehidupan itu sendiri.
Unsur lain yang perlu diuraikan di sini adalah istilah estetika. Estetika, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan cabang filsafat yang menelaah dan membahas seni dan keindahan, serta tanggapan manusia terhadapnya (Pusat Bahasa, 2001-236). Menurut Djelantik (1999.9), estetika adalah suatu ilmu tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan
8