Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/197

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

rumput sehelai sudah bermilik, hanya malu yang belum berbagi". Akan tetapi, dalam kehidupan sehari-hari apa yang diperlihatkan tidaklah sesuai dengan ajaran adat tersebut. Rasa keakraban dan kekerabatan hanyalah terhadap keluarga dekat saja, lebih dari itu dianggap orang asing.

Konflik dalam masyarakat Minangkabau terjadi di berbagai aspek kehidupan. Konflik tersebut juga terjadi antara adat dan Islam sebagai agama yang dianut oleh orang Minang. Menurut Abdullah (1987), sifat ganda dari posisi adat dan juga Islam tidak dapat dipahami secara tepat tanpa memperhitungkan fungsi konflik dalam masyarakat secara keseluruhan. Bagi masyarakat Minangkabau, konsep tentang konflik tidak sekadar diakui, tetapi juga dikembangkan dalam sistem sosial. Konflik dipandang secara dialektis, sebagai unsur hakiki untuk tercapainya integrasi masyarakat.

Dalam karya beberapa pengarang Minangkabau terlihat adanya usaha untuk menyerasikan dua komponen tersebut. Mereka berusaha membuktikan bahwa agama Islam dan adat tidaklah saling bertentangan. Agama Islam melengkapi adat dan sintesis antara adat dan agama tidaklah sama dengan kombinasi air dan susu, tetapi sebagai campuran air dan minyak dalam susu (Abdullah, 1987).

Estetika konflik bagi orang Minang bermuara pada persoalan epistemologi, sebuah rumusan dari alam pikiran orang Minang. M. Nasroen merupakan salah seorang yang berhasil merumuskan persoalan epistemologi tersebut. Ia meyakini adanya "keseimbangan dalam pertentangan". Hal senada juga diuraikan oleh Pariaman (dalam Fadlillah, 2004) yang menyatakan bahwa pada perimbangan terdapat suatu keadaan dan kesatuan yang baru. Hal inilah yang disebut oleh Faruk (1988) sebagai estetika konflik.

Nasroen dapat dikatakan berhasil merumuskan suatu kajian terhadap kebudayaan, adat, dan realitas kehidupan orang Minang secara sistematis. Realitas konflik sebagai suatu keseimbangan memang tidak dijumpai dalam bangsa Melayu lainnya. Hal itu hanya ditemukan di dalam masyarakat

Minangkabau. Inilah yang disimpulkan oleh Fadlillah (2004)

185