Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/196

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

yang berjudul "Orde Tabung" yang dipentaskan oleh teater Gandrik.

Drama tersebut mampu memesona penonton dengan daya pukau konflik antara dua hal yang saling bertentangan, yang tidak mungkin tercampurkan, seperti air dengan minyak. Dalam sebuah pertunjukan, pada hakikatnya yang dituntut adalah pertentangan antara jiwa dan raga, keharusan menangis dan keinginan untuk tidak memperlihatkan tangis secara fisik.


Hal itu juga terlihat dalam novel berlatar Minang-kabau. Kecenderungan seperti itu biasanya disebut "panas yang mengandung hujan", seperti yang diungkapkan oleh Iskandar (2002:83) berikut ini.

Maninjau berpadi masak,
Batang kapas bertimbal jalan
Hati risau dibawa gelak,
Bak panas mengandung hujan.

Kutipan di atas memberi gambaran kepada kita bahwa bagi orang Minang, terutama kaum laki-lakinya, penderitaan merupakan bagian integral dari kebudayaan dan sistem kultural. Kalau penderitaan itu tidak ditahan, dibawa menangis, yang muncul hanya kecenderungan yang melanggar konsep kelaki-lakian. Selain itu, perbuatan menangis karena penderitaan hanya akan membuat orang lain merasa kasihan. Sementara itu, orang Minang pantang dikasihani, pantang menjadi pengemis.


Kehidupan masyarakat Minangkabau memang penuh dengan konflik. Paradigma konflik ini juga berakibat pada kepribadian orang Minang, laki-laki dan perempuan, yang menurut Pariaman (1989) mengalami kepribadian yang terbelah (split personality). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya orang Minang mengalami kepribadian yang terbelah tersebut. Salah satunya adalah persoalan adat yang mengajarkan orang Minang "tegak di kaum memagar kaum, tegak di suku memagar suku, tegak di negeri memagar negeri.

Sehina semalu. "Kalau tanah sebingkah sudah berpunya, kalau

184