Pengaturan tata krama dalam kato nan ampek bukan untuk membedakan antara bahasa bangsawan dan bahasa orang kebanyakan, tetapi hanya sebagai norma dan kaidah yang ada dalam masyarakat. Adapun "kato nan ampek" itu,yang oleh Navis (1984) disebut langgam kata, adalah (1) kato mandaki (kata mendaki): bahasa orang kecil kepada yang lebih tinggi kedudukannya, (2) kato manurun (kata menurun): bahwa yang digunakan oleh orang yang lebih tinggi status sosialnya kepada orang kecil, (3) kato malereng (kata melereng): bahwa yang digunakan oleh orang yang posisinya sama dan saling menyegani, baik karena hubungan kekerabatan maupun karena hubungan jabatan, serta (4) kato mandata (kata mendatar): bahasa yang digunakan oleh orang sebaya yang statusnya sama dalam hubungan akrab.
Menurut Amir (2000), dengan berpijak pada kato nan ampek, budi seseorang dinilai dari kearifannya memilih "model" bahasa yang akan digunakan untuk bertutur pada kawan bicaranya. Bahasa yang bermakna langsung (deno-tatif) hanya digunakan ketika bertutur kepada yang lebih muda ataupun kepada anak-anak, serta kepada sesama besar. Bagi mereka yang memiliki hubungan perkawinan ataupun orang yang lebih tua umumnya akan digunakan kiasan. Orang dianjurkan berbicara menggunakan bahasa kiasan, bukan berbicara secara bukak kulit tampak isi. Kebiasaan berbicara dengan menggunakan bahasa kiasan dan memahami kiasan tersebut akan membuat orang yang bersangkutan dipandang terhormat dan diperlakukan lebih daripada orang yang tidak paham.
Selanjutnya, Amir (2000) menyatakan bahwa apa yang
diuraikannya tentang konsep estetika Minangkabau
merupakan pemikiran awal yang memandang estetika dari
sudut pandang pemilik seni tersebut. Apa yang diung-
kapkannya merupakan sebuah tawaran bahwa suatu
masyarakat mempunyai pandangan sendiri mengenai
lingkungannya. Ukuran yang dapat dikenakan padanya
adalah ukuran dari masyarakat itu sendiri. Konsep estetika
Minangkabau dipaparkan dalam konteks yang seperti itu. Cara
181