Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/18

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

konsep estetika barat belum begitu populer. Ketika Teeuw (1984) menulis perihal konsep estetika sastra Melayu yang menjadi latar belakang kesastraan puisi "Berdiri Aku" karya Amir Hamzah, konsep estetika Indonesia pun belum menjadi persoalan umum. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, muncul suatu gagasan mengenai konsep estetika Indonesia yang khas, yang oleh Faruk (1988) disebut sebagai poetika Indonesia, yaitu ketika munculnya prosa lirik Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi A.G. yang bersifat kontroversial itu dan novel Burung-Burung Manyar karya Mangunwijaya. Sejak saat itu berkembanglah pemikiran dan perdebatan tentang konsep estetika Indonesia yang melahirkan suatu kondisi yang khas dalam kesusastraan Indonesia. Kondisi itu menuntut perlu adanya pengkajian mengenai konsep estetika Indonesia yang berbeda dari konsep estetika barat.

Dalam perkembangan selanjutnya, apa yang dicita- citakan tersebut belum sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Banyak penelitian yang telah dilakukan, tetapi penelitian tersebut masih belum dapat menjawab pertanyaan apa dan bagaimana sesungguhnya konsep estetika dan poetika Indonesia itu. Kesalahan itu, menurut Faruk, terletak pada ketidaktepatan dalam pemilihan metode dan teori dalam penelitian tersebut sehingga melahirkan hasil yang tidak tepat. Kenyataan itu tentu saja tidak menjadi penghalang bagi para peneliti untuk melakukan penelitian selanjutnya. Hal itu nantinya akan menjadi pendorong bagi mereka untuk melakukan penelitian tentang konsep estetik Indonesia dengan harapan penelitian yang dilakukan akan melahirkan suatu. kesimpulan yang sesuai dengan konsep yang diinginkan, yaitu: konsep estetika Indonesia yang dapat membedakaniya dari konsep estetika barat.

1.2 Masalah

Sesuai dengan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, perlu dirumuskan masalah yang akan diung- kapkan dalam penelitian konflik sebagai konsep estetika novel berlatar Minangkabau periode 1920-1940 ini. Masalah itu,

6