Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/135

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

istrinya baju dan perhiasan yang mahal. Kemampuan mendirikan rumah dan membelikan sawah bagi kemenakan dan istrinya di kampung adalah ukuran keberhasilan laki-laki Minang di perantauan. Meskipun rumah dan sawah yang dibeli dari hasil keringat di rantau tersebut pada akhirnya tidak dapat dinikmati oleh laki-laki Minang, hal tersebut sudah merupakan kebanggaan bagi mereka. Mereka sadar bahwa tidak ada tempat bagi laki-laki Minang setelah kembali ke kampung halaman, selain tinggal di surau. Rumah yang didirikan untuk istri diperuntukkan buat anak perempuan dengan suami dan anak-anak mereka nantinya. Sementara itu, di rumah saudara perempuan pun mereka tidak memiliki tempat. Satu-satunya tempat adalah kembali ke surau.


"Membeli sawah dan membuat rumah di kampung, lain halnya dengan engkau membeli rumah di sini, Suyono. Rumah ini engkau beli untuk dirimu, untuk istirahat di hari tuamu, atau untuk hendak engkau jual pula jika engkau terdesak uang. Sebab engkau yang empunya. Di kampung kami rumah yang didirikan atau sawah yang dibeli, bukan buat kita laki-laki, tetapi buat isteri. Jadi keduanya adalah kepunyaan Mariatun dan anaknya. Akhirnya untuk suku dan keturunannya. Kita laki-laki menurut adat kami, hanyalah sebagai: "Gajah Pengangkut Debu". Kalau saya tetap di kampung kelak, bahagian saya hanyalah surau, terutama jika anak perempuanku telah bersuami pula. Dan di rumah sanak saudaraku, tidak ada harga diriku, saya akan disesali, sebab umur muda telah saya habiskan di rantau" (Hamka, 1977:140-141)


Kebiasaan orang Minang merantau dengan beragam alasan yang mendorong mereka meninggalkan kampung halaman, baik karena rasa tanggung jawab, harga diri yang terinjak-injak maupun rasa malu banyak mewarnai novel berlatar Minangkabau. Dalam Sitti Nurbaya digambarkan

123