dan menolak keinginan orang tuanya dipandang sebagai hal yang sia-sia. Untuk apa sekolah tinggi-tinggi, kalau nantinya Segala kebutuhan mereka setelah menikah dapat dipenuhi oleh mamaknya.
“Segala kawan-kawanmu,” kata bapanja lagi, “jang sebaya dengan kamu dikampung kita ini, sudah memakai adat semuanja, artinja sudah beristri, dan ada djuga jang telah beranak. Malu kami rasanja melihatkan kamu jang sudah besar, belum djuga berumah. Sudah djadi adat sebenar adat bagi kita, kalau hari petang, burung pulang kesarangnja, kerbau pulang kekandangnja, orang pulang kerumahnja (Pamuntjak, 1961:35).
Boleh djadi kamu sudah tahu djuga, jang mendjadi malu besar bagi orang Minangkabau, ialah tiga faraknja: 1. rumah gedang ketirisan, 2. majat terhantar berhari tengah rumah, dan 3. anak jang berumur dewasa tidak dikawinkan. Jang ketiga itulah kewajiban kami jang tinggal.” (Pamuntjak, 1961:35).
Itulah maksud kami jang sebesar-besarnja, jaitu hendak memperumahkan kamu. Tjobalah kamu pikir, djika kamu pulang sekali-kali kesini dimanakah kamu akan bermalam, tentu disurau sadja, karena menurut adat kita dikampung ini, malu benar kalau anak budjang tidur dirumah ibunja, lebih-lebih jang bersaudara perempuan pula. Untunglah kamu sedang bersekolah, djarang tinggal dikampung, kalau tidak, kamu djadi buah mulut orang.” (Pa-muntjak, 1901:35).
Aib atau kehinaan vang memalukan meru pakan rahasia yang perlu disembunvikan. Keaiban tersebut haruslah dilokalisasi, seperti yang terungkap dalam mamangan babiliak ketek, babiliak gadang (berbilik kecil, berbilik besar). Yang artinya,
115