Dua kutipan tersebut memperlihatkan dua hal yang berbeda mengenai pandangan wanita yang berasal dari dua budaya yang berbeda. Di satu pihak, Poniem yang dipandang sebagai orang asing oleh kaum kerabat Leman rela mengorbankan apa saja demi kelangsungan hidup keluarganya. Dalam pikiran Poniem apa pun yang dimilikinya adalah milik suaminya juga karena menurut budayanya jika ia telah memutuskan untuk menikah dengan seorang laki-laki, berarti ia telah menyerahkan seluruh hidupnya bulat-bulat pada laki-laki tersebut. Berbeda halnya dengan Mariatun yang hidup dan besar dalam budaya yang membuatnya berpikiran bahwa biar pun Leman adalah suaminya, tetapi ia adalah orang asing. Jadi, apa yang telah dimilikinya adalah miliknya sendiri. Ia berhak untuk tidak mengorbankan apa pun untuk suaminya.
Keputusan Leman mengawini wanita lain, orang sekampungnya yang tanpa periksa itu telah menimbulkan petaka bagi dirinya sendiri. Keinginannya untuk menaikkan harga dirinya mengalami konflik ketika ia menyadari bahwa ia memutuskan sesuatu tanpa periksa. Nafsu dan keinginannya untuk menaikkan harga diri telah membuatnya terlena dan lupa terhadap akibat yang mungkin nanti muncul dari keputusannya tersebut.
Sungguh banyak sekali manusia yang lemah dan tak dapat mengendalikan dirinya untuk menahan hawa nafsu. Perturutkan dahulu. Buruk baiknya hitung di belakang. Demikian kata hatinya setelah menempuh suatu perbuatan yang ditolak oleh timbangan halusnya, tetapi dikehendaki oleh nafsunya. Kelak zaman belakang waktu berhitung itu akan tiba juga. Maka cerahlah langit teranglah awan, hakikat kebenaran itupun tampaklah, sebab bila hawa nafsu telah lepas, tinggallah tanggungan bathin yang maha berat (Hamka, 1977:100). 104