Halaman:Konflik; Konsep Estetika Novel-Novel Berlatar Minangkabau Periode 1920-1940.pdf/101

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Akan tetapi ia segera tahu juga, bahwa cintanya itu sia-sia adanya. Asri memandang dirinya hanyalah sebagai seorang pelayan, atau sebaik-baiknya sebagai saudara perempuan yang sangat dikasihinya. Akan jadi istrinya tak layak sekali-kali. Walau ada sekalipun barang sesuatu yang agak lain terbit dalam hati anak muda itu, tak berguna juga (Iskandar, 2003:50).

Cinta yang sia-sia itu amat jelas dan harus diterima oleh Asnah dengan hati yang lapang. Hal itu disebabkan oleh berbagai faktor, di antaranya Asri tidak mungkin bisa menjatuhkan pilihan pada diri Asnah. Asnah adalah seorang anak perempuan yatim yang miskin. Anak seorang pelayan yang menumpangkan hidup dari belas kasihan orang tua Asri. Selain itu, mereka berasal dari suku yang sama. Suku mereka berdua melarang mereka untuk hidup menjadi suami istri. Asri dan Asnah sesuku, satu kaum meskipun tingkat kekerabatan kaum mereka itu jauh karena sudah dilapisi oleh beberapa garis keturunan. Dengan demikian, Asnah harus bisa menerima kenyataan hidupnya dan harus menelan kenyataan pahit kehidupannya karena ia telah terikat dengan budi. Asnah berusaha menutupi rasa cintanya pada Asri dan berkonsentrasi penuh pada kehidupannya. Pekerjaannya Sehari-hari di rumah ibu Asri bisa melenyapkan pikiran yang terus menghantuinya tersebut. Ia akan mencurahkan kasih Sayangnya pada Ibu Mariati, ibunda Asri, sebagai wujud balas budinya pada wanita baik itu.

Nasib, ya, kini ia hendak pergi dari rumah gedang? Dan apakah yang akan jadi sebah baginya hendak pergi itu? Padahal Ibu Mariati berhajatkan dia. Barangkali hajat itu akan berlipat ganda lagi, kalau Asri sudah terikat kepada seorang perempuan muda. Jika penyakit ibu itu bertambah keras siapakah lagi yang akan membela dan mengenakan obatnya? Tidak seorang jua pun yang tahu akan tabiat dan

89