Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/9

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

inplikasi, bahwa manusia hendak membinasakan alam, melainkan hanjalah hendak memberikan isi jang berupa makna dalam alam itu. Ini berarti, bahwa manusia mengatur, menjusun, menata alam. Umpamanja manusia merombak suatu hutan mendjadi kota, sebagai dalam djaman dahulu kita melihat berdirinja kota Madjapahit alau Jogjakarta. Hutan" itu kita rombak. lalu kita dirikan rumah demi rumah, kita bentangkan djalan, dsb. Kita telah menjusun alam mendjadi lain, karena dengan penjusunan itu kita mengisikan makna2 insani kita, kita ingin mendirikan suctu negara. Demikianlah umpamanja kita ingin melakukan pembangunan2 raksasa, kita ingin membentangkan djembatan2, terusan2, dsb, atau kita ingin mendirikan pabrik2, mengadakan industrialisasi, dsb. Hal itu semuanja memperlihatkan bahwa kita menundjukkan makna insani kita dalam suatu proses alam jang mengandung perubahan2.

Sudahlah semestinja apabila kesemuanja itu tidak dapat dilakukan oleh seorang diri, melainkan kesemuanja dilakukan oleh suatu kesatuan sosial, Kita tidak dapat melakukan pembangunan dengan seorang diri, kita tidak dapat mengadakan produksi dengan seorang diri, melainkan kesemuanja itu kita lakukan bersama2, Dari sinilah lahirnja masalah perburuhan dan sosial, suatu masalah jang senantiasa menggoda kita, sedjak dohulu hingga sekarang. Perdjuangan disekitar masalah perburuhan dan sosial ini pada hakikatnja adalah perdjuangan disekitar kebudajaan sebagai suatu proses sosial. Dalam proses sosial inilah diperdjuangkan, bahwa manusia harus tetep merupakan pengolah atau pengatur alam dan tidak sebaliknja manusia djangan mendjadikan objek kebudajaan, paling sedikit ja harus merupakan subjeknja, jang mengatur dan jang hendak menguasci alam, Dalam djaman dahulu, disaat feodalisme merupakan sistim sosial jang dianut oleh manusia, maka buruh atau pekerdja tidaklah djarang merupakan sekedar alat untuk mengatur alam jang akan mendukung makna si tuan tanah, si buruh atau si pekerdja itu tidak mempunjai makna sendiri, dan dalam keadaan jang demikian itulah disebut, bahwa situasi sosial jang demikian itu menjatakan suatu perbudakan. Djika dalam pertengahan jang kedua dari abad ke-18 di Perantjis meletus suatu revolusi, hal itu disebabkan oleh karena manusia hendak kembali kepada dirinja sebagai subjek dan tidak sebagai objek kebudajaan. Dalam kebudajaan djika kita berbitjara tentang objek maka jang dimaksud ialah alat sebagaimana kita mempergunakan sapi atau kerbau sebagai alat, sebagai objek kebudajaan. Demikianlah umpamanja situasi sosial jang hendak menimbulkan suatu absurditas (makna jang tidak keruan) dikalangan subjek2 kebudajaan, hingga merupakan objek kebudajaan itu pernah dilukiskan oleh Gilbert Gadofire tatkala menganalisis krisis demokrasi sebagai gambaran dari krisis abad ke-20 ini[1]. Dalam analisisnja itu dikemukakannja, bahwa kegagalan sistem sosial jang ditjiptakan oleh liberalisme antara lain disebabkan oleh karena tidak dapat dipertanggung-djawabkannja pemakaian kapital, sehingga djurang jang makin lebar dan mendalam terus-menerus terdjadi antara buruh dan madjikan, dengan perkataan lain, tidak ada tanggungdjawab jang membawa keadilan kaum buruh. Disamping itu sistem sosial jang ditjiptakan oleh Liberalisme telah gagal karena tidak dapat mempertanggungdjawabkan sistem persaingan, karena sistem persaingan jang dimaksudkan untuk mentjegah monopoli, malahan menudju kearah monopoli dan membawa suatu penjakit sosial, jaitu mentjiptakan industri2 perang, sebagaimana ternjata dalam sedjarah umat-manusia dalam abad ke-29 ini jang mengenal dua perang dunja, Djika Gadoffre sampai kepada suatu kesimpulan. bahwa faktor2 inilah jang menjeret manusia kedalam suatu krisis demokrasi, sehingga timbullah ekstremisme2 dari demokrasi dalam pendjel-


  1. G. Gadifire, Vers le style du XXe siecle. Paris, 1945, pp. 29-30