Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/7

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

barangkali memang sulit untuk menjebut, bahwa Kongres Perguruan Nasional itu hendak mempersiapkan suatu revolusi. Namun sampai sedjauh itu hendaklah kita tidak terlalu tergesa-gesa untuk melemparkan sesuatu dakwaan, bahwa bangsa kita disaat itu tidak memiliki radikalisme dalam idee dan pikiran. Suatu pendekatan jang mendukung simpati kiranja lebih sejogjanja, bahwa bangsa kita, artinja intelegensia kita sebagai inti bangsa, tidak dengan sangat sadar mempersiapkan revolusi Indonesia dengan idee² kebudajaan. Akan tetapi setjara intuitif toh telah dirasakan. betapa daruratnja menghubungkan tjita² kemerdekaan bangsa dengan tjita² kebudajaan. Hanja sajang, bahwa pertemuan² antara pikiran² tentang kebudajaan itu jang merupakan bagian penting dari sedjarah perebutan kembali kemerdekaan bangsa tidak berdjalan lancar, malahan terlampau berlarut-larut, karena mungkin disebabkan oleh perasaan intuitif jang kurang tadjam terhadap nilai²nja, sehingga banjak tertinggal oleh arus sedjarah jang dinamik. Dalam djaman revolusi dan kemerdekaan diusahakanlah lagi pertemuan antara pikiran² tentang kebudajaan itu, bukan hanja sekali dua, melainkan berkali-kali. Kita dapat mentjatat, bahwa ditahun 1948, mereka berkumpul di Magelang, ditahun 1951 di Bandung, ditahun 1954 di Solo dan ditahun 1957 di Den Pasar. Djika dalam pertemuan² itu masih djuga tidak disadari eratnja pertalian antara nilai² revolusi dan nilai² kebudajaan, maka sedjarah akan mengulang hasil jang sama. Dan dalam keadaan jang sangat berlarut² itu, mungkin kita akan membenarkan apa jang dimaksudkan oleh Herbert Read dengan "To Hell with Culture" ²).

FENOMENA KEBUDAJAAN


 Oleh karena djustru perkataan revolusi kebudajaan itu teramat penting, maka pendekatan kepada fenomena kebudajaan itu sebagai langkah pertama adalah jang paling duluan harus dilakukan. Apa jang tidak dapat disangkal dari suatu kenjataan jang ditundjukkan oleh fenomena kebudajaan itu ialah, bahwa kebudajaan itu adalah peristiwa jang ditjiptakan dan dialami oleh manusia. Setjara fenomenologik maka kebudajaan adalag tersusunnja segala sesuatu. Sesuatu benda atau barang tidak mungkin mengambil bagian dalam kebudajaan, walaupun hanja setjara objektif sadja, apabila tidak berhubungan dengan sesuatu benda atau barang lain. Misalnja suatu barang, sebutlah barang itu kapas, apabila kapas itu tidak berhubungan dengan barang lainnja, maka tidaklah mungkin kapas itu disebut mengambil bagian didalam kebudajaan. Bila kapas itu telah tersusun, teratur, mendjadi suatu kertas umpamanja, maka kapas itu telah mengambil bagian dalam kebudajaan. Tetapi haruslah didjelaskan setjara teknik, bahwa pengertian ,,berhubungan dengan barang lain" disini adalah ,,bersama² barang lain merupakan suatu susunan jang teratur, susunan mana dikerdjakan oleh manusia menurut makna dan keperluannja". Dengan demikian kenjataan, bahwa kapas berhubungan dengan kulitnja, dengan tangkainja, dsb. bukanlah suatu hubungan alamijah, organik, dsb. Djadi lebih tepatlah bila dikatakan, bahwa hubungan itu tersusun, dan hubungan jang tersusun itu timbul dari kondisi hidup manusia. Sebagaimana barang itu berhubungan dengan barang lain sebagai suatu hubungan jang tersusun, dengan perkataan lain, barang itu tidak dapat lepas dari barang lain. demikian pula hanja

—————— ²) Herbert Read, The Poltics of the Unpolitical, London, 1946, p.p. 47-73.