Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/51

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

Pandangan jang melihat fenomena kebudajaan itu setjara tidak menjelam kedalam kebudajaan itu sebagai hakikat historik tidak akan mengerti, bahwa kebudajaan Indonesia itu ada. Sebagai hakikat historik, se-tidak2nja sebagai kenjataan historik, kebudajaan itu merupakan perwudjudan dari realisasi nila2 setjara bersama2 dalam waktu. Mengingat hukum dialektik jang menerangkan fenomen perdjuangan nasional membebaskan diri dari belenggu kolonial, dengan mudah akan dimengerti, mengapa kita mengambil kesimpulan, bahwa kebudajaan nasional itu ada. Kesenian jang timbul oleh realisasi nilai bersama seperti disebutkan tadi umpamanja kesenian Bali, Maluku, Djawa, dsb., dengan sendirinja adalah kesenian Indonesia, denikian pula dalam lapangan lainnja sebagai haluja politik, ekonomi, psikologi, dsb. Pembebasan diri dari mental kolonial dalam wujud rasa-kurang-harga-diri, snobisme dalam gaja asing, dsb. adalah perwudjudan2 rasa-nilai kolonial jang setjara dialektik sampai kini masih kita selesaikan dengan perdjuangan kebudajaan nasional.

Teranglah, bahwa kepribadian nasional itu ada, jang ditandai oleh djiwa objektif kita, jaitu suasana kebudajaan jang telah diuraikan tadi. Djiwa objektif adalah djiwa jang menarik suatu pribadi se-akan2 suatu magnet, akan tetapi djustru objek itu pada hakikatnja tidak mempunjai djiwa, maka djiwa objektif itu sebenarnja adalah tjermin dari djiwa pribadi itu, jaitu pribadi bangsa Indonesia jang sedjak bermulanja kolonialisme dalam sedjarah Indonesia melakukan perdjuangan nasional, sehingga terlahirlah djiwa objektif nasional Indonesia, dengan perkataan lain, kepribadian bangsa Indonesia jang berkembang ber-sama2 faktor2 objektifnja, dalam sedjarah Indonesia, termasuk kedalamnja Sriwidjaja, Madjapahit, Mataram, dan djaman2 kedjajaan bangsa didjaman bahari lainnja.

*

BAHWA perdjuangan kebudajaan nasional itu semakin lama semakin seru, baik perdjuangan menghadapi anasir asing jang without, maupun anasir asing jang within, kita masih selalu menjaksikan pergolakan2 itu. Kekuatan2 asing (baik jang without, maupun jang within) jang telah bergerak ber-tahun2 ternjata tidak sanggup melumpuhkan pertahanan kebudajaan kita. Dalam lapangan kesenian kita masih terus-menerus mentjatat kegiatan2 jang menimbulkan pada kita perasaan optimisme jang me-njala2 . Pada pameran jang diselenggarakan oleh Jajasan Seni & Design pada permulaan bulan Desember di Kebajoran Baru kita saksikan ragam2 hiasan daun lontar, jaitu hiasan jang dipergunakan dalam upatjara agama Hindu-Bali jang bahannja dibuat dari daun lontar. Dalam upatjara sebenarnja hiasan2 ini dibuat dari daun kelapa jang dibuang setelah dipergunakan. Setiap kelainan hiasan dan bentuk pun mempunjai kelainan mempergunakan dalam upatjara2 agama. Tomiang Bunder misalnja dipergunakan dan digantungkan pada tempat jang tinggi diluar rumah. Ketjuali untuk adat djuga dipakai pada hari raja Kuningan, jaitu hari raja tahunan sekali dalam 6 bulan. Lamak Pendjor dipergunakan sewaktu perajaan adat jang penting termasuk hari raja Galungan jang diletakkan didalam dan diluar rumah. Manggele dipergunakan waktu kematian dan diletakkan sebuah pada setiap sudut jang empat. Sampai Pendjor dipergunakan diluar rumah sebagai pernjataan hormat pada tamu2 jang datang, djuga dipakai pada hari raja dengan menggantungkannja pada udjung bambu jang tinggi dan mendirikannja dihalaman rumah. Lis, jaitu ikatan ukir2an jang dipergunakan oleh seorang pendeta untuk menjiramkan tirta (air) dalam upatjara2 dan setelah dilakukan penjiraman ini barulah suatu upatjara dinjatakan selesai. Benda2 jang lain seperti telekantong, tulung sangkur, paku pipit, talai nijep, tulung urip, kepet sadjen, sampian penjenang dan sam-