Halaman:Indonesia Madjalah Kebudajaan Edisi Djanuari-Pebruari-Maret.pdf/19

Dari Wikisumber bahasa Indonesia, perpustakaan bebas
Halaman ini tervalidasi

dari sedjarah jang bersifat madju itu, Djika kita telah menjelami hakikat kemadjuan sedjarah jang mendukung kebudajaan nasional kita sebagai momen²nja, maka pastilah kita dengan sendirinja akan meninggalkan pendirian kesadaran jang mentjoba membangunkan kebudajaan diluar sedjarah, dengan perkataan, mentjoba membangunkan kebudajaan diluar kebudajaan tu sendiri.

ACHIRJA : KEBUDAJAAN SEBAGAI PERKEMBANGAN

Kemadjuan sedjarah jang tidak mungkin dirintangi itu adalah evolusi dari sedjarah penguasaan alam. Oleh karena penguasaan alam itu merupakan realisasi manusia sebagai totalitas, dengan mana setiap keasingan diperanginja, maka arah kebudajaan itu menudju kepada nilai² universal. Akan tetapi ini tidak berarti, bahwa nilai² universal itu harus meniadakan nasionalisme, karena sebagaimana kita mengetahui dalam pengertian² nasionalisme berbagai bangsa dapat bertemu sebagai jang kita saksikan di Bandung ditahun 1955, meskipun pertemuan jang lebik wadjar dipastikan oleh djalannja sedjarah. Nilai² universial tu tampaknja memang tidak dapat diarahi djika kita mengingat, bahwa penguasaan² alam itu berbeda tjara²nja, sistem²nja. Akan tetapi pada hakikatnja antara tjara² jang ber-beda² itu terbentanglah suatu tali hubungan kemanusiaan jang berpusatkan pada suatu penguasaan alam diharidepan, dimana dunia ini akan merupakan realisasi-bersama terhadap nilai² kemanusiaan. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh A. de Waelhens mungkin akan lebih daripada suatu utopia ²), akan tetapi kesanalah memang sedjarah itu menudjunja. Penguasaan alam itu, dan dalam hai ini kebudajaan adalah penguasaan alam jang autentik, memang dalam pelaksanaannja berlangsung dengan ber-beda², akan tetapi nilai² jang diarahinja sama. Apakah itu bisa tertjapai, memang tidak mungkin, karena djika mungkin, hal itu akan berlentangan dengan sifat² sedjarah jang tidak ber-henti²nja itu. Namun, djika kebudajaan sebagai ekspresi hidup manusia jang berakarkan pada perburuhan dan bahasa itu tidak mungkin mentjapai tudjuan universal itu, bagaikan Sisyphos jang tidak mungkin naik membebaskan diri dari djurang, tetapi agak lebih madju mentjapci tudjuan itu pada kebudajaan dalam arti jang sekondair, jaitu tidak sebagai ekspresi hidup manusia, melainkan ekspresi hidup manusia, meskipun berbeda dalam tjara dan melahirkannja. Berbeda dengan kebudajaan dalam pengertian primair, maka kebudajaan dalam pengerlian sekondair tidak ditjiptakan setjara produktif. tidak dapat difabrikasikan, melainkan ditjiptakan setjara poetik, setjara artistik, jang autentik, artinja djika kebudajaan itu diklisekan, maka klisenja bukanlah lagi kebudajaan dalam arti sekondair, melainkan kebudajaan dalam arti primair. Dengan pengertian jang sekondair ini djusiru oleh tjoraknja jang tidak pragmatik itu lebih mungkin nilai² universal itu direalisasikannja, karena jang ditjarinja, baik oleh seni, ilmu, maupun agama, ialah kemanusiaan itu, ialah hakikat si manusia, tetapi tidak oleh seni jang pragmalik, tidak oleh ilmu jang pragmatik, tidak oleh agama jang pragmatik.

Demikianlah kebudajaan itu dengan bahasa jang lebih tepat dari rumus² logistika memangku funksinja dalam realisasi-bersama terhadap nilai². Oleh karena itu tanpa protensi politik sedikitpun kebudajaan itu memilih tenpalnja jang paling tepat, jaitu manusia sebagai totalitas, kemanusiaan dan kerakjatan jang semesta.

__________
2) A, de Waeihens, De Mens en de Cultur. sebuah referat jang diutjapkan di Brusset dalam bulan April 1958, dan telah diterbitkan dengan djudul "Den Mens" ber-sama² reterat² Strasser, Dondeyne, dll. oleh Penerbit Spectrum di Uwecht dan Aniwerpen dalam tahun itu juga. Lih, selandjutnja p. 88.