maannja jang berupa totalitarisme kiri disatu pihak dan totalitarisme kanan dilain pihak hal itu mudahlah dipahami, Dalam mengikuti proses ditinggalkannja demokrasi dan diperolehnja bentuk² jang sangat ekstrem dari demokrasi ini maka kita akan senantiasa teringat kepada Herbert Read jang menjatakan, bahwa kelemahan demokrasi terletak dalam kenjataan, bahwa demokrasi itu memiliki suatu “physical impassibility”, sehingga meskipun kita dapat memperoleh suatu pemerintahan dari rakjat, malahan suatu pemerintahan untuk rakjat, akan tetapi menurut Herbert Read kita tidak mungkin memiliki suatu pemeriniahan oleh rakjat. Hal ini telah terbukti dalam sedjarah jang didjelaskan dalam mythes tentang Prometbeus, suatu mythes jang menggambarkan pertegangan antara napsu meninggalkan kemanusiaan dgn kembali kepada kemanusiaan. Kronos jang karena tidak memberikan kemungkinan kepada kemadjuan dunia digulingkan oleh Zeus dengan bantuan Prometheus, akan tetapi selelah Zeus menggantikan Kronos iapun mempunjai kebidjaksanaan jang tidak seberapa bedanja, ia telah meninggalkan kemanusiaan, dan sebagai reaksinja Prometheus menantang kebidjaksanaan ini. Ia ingin kembali kepada kemanusiaan. Prometheus adalah sualu mythes jang dalam abad² jang terachir ini, terutama dalam abad ke-20 merupakan tema dari kesusastraan Barat, pemberontakan manusia melawan anasir anti-manusia. Lebih hebat dan seram lagi orang Barat menggambarkan pertegangan ini dalam mythes tentang Oidipous, dengan menggambarkan, bahwa Oldipous, anak Radja Thebe jang dibuang oleh orangtuanja sendiri, karena dewa" meramalkan, hahwa anak ini kelak membunuh ajahnja sendiri. Oidipous kemudian setelah membunuh ajahnja sendiri tanpa disadarinja, bahwa kurbannja itu adalah ajahnja sendiri, lalu membunuh seekor sphinx jang selama ini sangat mengerikan rakjat Thebe dan setelah itu Oidipous mendjadi radja. Tetapi keradjaannja mendjadi katjau-balau. bumi mendjadi tandus, hewan² pada mati, penjakit² makin meradjalela, dsb, dan dewa² meramalkan, bahwa segala malapetaka itu akan lenjap, apabila pembunuh ajah Oidipous diketemukan, dan dibuang atau dibunuh. Disini kita melihat, bahwa Oidipous jang diangkat mendjadi radja, karena sebagai pahlawan ia lelah dapat membunuh seekor sphinx jang merupakan antjaman maut bagi rakjat, tetapi sebaliknja dangan naiknja ketachta keradjaan ia merupakan sumber duri malapetaka rakjatnja. Hal ini menundjukkan suatu ambivalansl manusia, disatu pihak ia seorang pahlawan, dilain pihak ia seorang pengchianat. Tidaklah terlalu djanggal karenanja apabila orang memperdengarkan suatu konflik antara manusia disatu pihak dan kemanusiaan dilain pihak. Apabila kemanusiaan tidak berhasil menguasai manusia, malahan sebaliknja kemanusiaan dikuasai oleh manusia, maka akan timbullah suatu fenomen, bahwa manusia akan meninggalkan demokrasi, karena demokrasi merupakan pernjataan dari Inti jang terdalam dari kemanusiaan itu. Apabila hal itu terdjadi, maka jang kita lihat kemudian ialah, bahwa manusia dengan tidak disadarinja mendesakkan dirinja kedalam suatu exstremisme,
DEMOKRASI SEBAGAI MASALAH KEBUDAJAAN
<td style="text-align: center; padding:0.3em; border: solid 1px #a3b1bf; font-size: 110%; background-color:
- CEE0F2; width: Kesalahan ekspresi: Karakter tanda baca "[" tidak dikenal.%;">[[{{{link}}}|{{{tab}}}]]Teranglah disini, bahwa persoalan jang sesungguhnja tidaklah lain daripada persoalan kebudajaan. Djika dalam suatu masjarakat dipergunakan suatu sistem sosial
jang konsekwensinja mentjiptakan suatu keadaan sosial, dimana banjak manusia hidup sebagai objek² kebudajaan, maka sistem sosial tersebut tidaklah mungkin mewakili suatu demokrasi. Apabila suatu masjarakat menghendaki dirinja terlalu demokratik, maka masjarakat tersebut sebagaimana kita peladjari dalam sedjarah pada hakikatnja bukanlah suatu demokrasi lagi. Perang² dunia dalam abad ke-20 ini petjah oleh karena masjarakat Barat menghendaki masjarakat jang terlalu demokratik. Demokrasi bukanlah mutu exstremisme dan olah karena itu tepat sekali apabila Herbert Read berkata, bahwa