berdjalan dengan pesat; tiap tahun diadakan konperensi nasional; ditiap tempat banjak diadakan rapat.
Demikianlah terus-menerus sampai tahun 1861. Waktu itu petjah perang saudara, jang akan mendjadi tingkatan jang terachir dari perdjuangan menentang perbudakan. Kaum wanita bekerdja keras. Mereka merawat orang jang luka-luka dan menduduki tempat-tempat jang terpaksa ditinggalkan oleh kaum laki-laki. Dan sebagaimana biasa, dalam waktu-waktu kesukaran, kaum politici mendjandjikan, bahwa kelak kaum wanita akan diperlakukan dengan „adil". Akan tetapi sesudah kemenangan dalam peperangan saudara tertjapai, maka pada kaum wanita jang dinamai „suffragettes" itu diberi-tahukan: „Inilah saat untuk bangsa Negro, saat untuk kaum wanita kelak akan tiba!"
Kaum wanita memang amat tahan. Banjak orang, bila kerap kali mengalami keketjewaan demikian, akan putus asa. Tidaklah demikian halnja dengan kaum wanita. Mereka berdjuang terus dengan kekerasan hati.
Tapi mereka harus bertahan sampai penghabisan perang jang kemudian datang, jakni perang-dunia jang pertama, dari tahun 1914 sampai tahun 1918. Waktu itu kaum wanita amat berdjasa dalam segala lapangan dan ketika itu Pemerintah tidak dapat lebih lama menolak hak-kewargaan-negara bagi mereka. Pada tanggal 26 Agustus 1920 undang-undang-dasar negara ditambah dengan sebuah fasal, jakni: „Amerika Serikat ataupun sebuah diantara negara-negara-bahagiannja tidak akan menolak atau mengurangi hak seorang warganegara untuk memilih, atas dasar djenis-kelaminnja."
Sementara itu persamaan deradjat kaum wanita dalam masjarakat dengan kaum laki-laki di Amerika Serikat sudah lama suatu kenjataan, seperti djuga dilain-lain negeri. Sekarang bukan sadja wanita jang telah bersuami,
25